Selasa, 09 Maret 2010

“Kemaruk Obral Ijin Alih Fungsi Hutan”

“Kemaruk Obral Ijin Alih Fungsi Hutan”


Oleh: Nordin

Keluar nya ratusan rekomedasi dan ijin pinjam pakai kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit menunjukan sikap ke maruk para pemimpin daerah dalam mengobral kawasan hutan secara murah kepada Investor. Obral murah ini tidak lepas dari sinyelemen (kalaupun tidak mau di katakan prustasi ) pengola secara hutan adil dan lestari yang berhasil guna untuk rakyat kebanyakan, karena di berikan ke pada Investor, baik nasional maupun asing . Patut diduga juga bahwa obral ijin ini di jadikan sebagai “ATM” bagi kepentingan pribadi atau golongan maupun kelompok penguasa dan memegang otoritas perijinan .

Upaya saling dukung sangat terlihat dengan di biarkan nya aktivitas illegal berupa pembabatan dan pembukaan hutan oleh pengembang, sekalipun dalam kondisi belum memiliki ijin sesuai ketentuan. Pemerintah dan aparat hukum terkesan tutup mata dan dan tidak perduli menganggap pembabatan dan pembukaan kawasan hutan seolah bukan kejahatan, pedahal jelas – jelas sebagai kejahatan skandal memalukan. Untuk menutupi sikap kemaruk nya pemerintah seolah – olah peduli dengan upaya penenggulangan deforestasi, melalui proyek awang-awang REDD karbon trade dan semacam nya. Sementara disisilain ratusan ribu hektar hutan dan ratusan dan juta batang pohon di biarkan dibabat secara illegal tanpa disentuh hukum, padahal tidak kurang informasi dan laporan yang di sampaikan rakyat.

Kerapkali Perkebunan Besar Swasta ( PBS ) kelapa sawit juga terpaksa dengan ketar ketir harus membuka kawasan hutan meskipun perusahaan mengetahui pembukaan hutan tanpa ijin Hak Guna Usaha (HGU) dari BPN dan ijin pelepasan kawasan hutan dari mentri ke hutanan adalah pelanggaran sebab pemda mengancam mencabut ijin lokasi yang diberikan apabila lahan belum juga di buka. Di Kecamatan Kapuas Tengah jajaran Dirjen pengukuhan dan penatagunaan kawasan hutan pernah melakukan pemantauwan dan menemukan pembukaan areal perkebunan kelapa sawit yang di lakukan enam PBS tanpa ijin pelepasan kawasan hutan dari Menhut . Dari enam perusahaan perkebunan tersebut tiga di antara nya sudah melaksanakan penanaman yakni PT. Wana Catur Jaya Utama (WCJU), PT.Kalimantan Ria Sejahtera (KRS), dam PT. Kapuas Maju Jaya(KMJ). Penegasan gubernur Kalimantan Tengah , Agustin Teras Narang SH yang melarang perusahaan perkebunan melakukan kegiatan di lapangan sebelum ada SK pelepasan kawasan hutan dan pinjam pakai kawasan hutan dari Mentri Kehutanan terbit. Kepada Bupati Walikota se- Kalteng melalui surat edaran nomor 540/735/Ek, perihal pengawasan terhadap perusahaan pertambangan dan perkebunan tanggal 13 juni 2009 terkesan di lecehkan dan hanya menjadi isi keranjang sampah saja .

Disamping dilecehkan disisi lain juga penegasan itu hanya mencari kertas saja tanpa tanpa dibarengi dengan tindakan dan upaya serius di mana seolah surat itu semua nya akan menurut dan patuh juga kepada yang melanggar tidak dengan tegas di ambil tindakan oleh gubernur dengan melaporkan kepada aparat hukum atas pembalakan dan menghancurkan tanah dalam yurisdiksi nya.kalau demikian sama saja surat edaran tersebut hanyalah lips service dan normative saja.dalam beberapa media masa gubernur Agustin Teras Narang jela-jelas mengakui telah memberikan rekomendasi kepada 77 PBS sawit yang berada dalam kawasan hutan untuk demikian ijin pelepasannya hal ini menunjukan pertama: Gubernur mengakui bahwa lokasi-lokasi tersebut adalah kawasan hutan, sementara jutaan hertar tanah Kalteng “dikuasi” oleh kementrian kehutanan yang di akui sebagai kawasan hutan yang tercermin dari sikapnya menolak hasil kajian tim terpadu RTRWP. Kedua: Gubernur ambigu dalam mengembangkan konsep – konsep pengurangan emisi dari deforestasi dan degrasi hutan REDD.Fakta nya justru tidak kurang dari 1.5 juta hektar kawasan hutan diberikan rekomendasi menjadi monoculture sawit (asumsi 77 PBS x 20.000 Ha).

Bahwa alasan pengembangan daerah dan tujuan ekonomi memang tidak dapat di kesampingkan tetapi kebijakan ambargu juga membuat rakyat semakain binggung, sebagai konsumsi politik bagi public barang kali ini sangat cerdas tapi dalam kaitan konsestensi sikap hal ini membuat upaya- upaya pengelolaan kawasan dan hutan yang sustainable secara ekologi dan secara ekonomi semakin membingungkan. Penulis tanpa maksut mengatakan bahwa REDD adalah dewa penyelamat untuk ekologi dan ekonomi namun setidak nya kalaupun mau menyelamatkan ekonomi ( dalam jangka panjang ) dan ekologi (dalam artian keselamatan rakyat dari bencana ekologi dan kehilangan akses atas alat produksi berupa tanah ) maka obral lahan untuk investor adalah kurang tepat. Dalam kesempatan beberapa tahun lalu penulis pernah mengatakan bahwa pada saat nya rakyat akan menjadi kaum landless dan investor ( yang tidak kurang 30% nya adalah modal asing) akan menguasai tanah kita dan akan menjadi majikan bagi pribumi ditanah nya sediri.

Siapaun tahu bahwa tanah dan lahan adalah alat produksi utama yang tidak pernah ada biaya penyusutan nya (depresiation expances), oleh karena jadikanlah tabungan (land bank) bagi Negara , rakyat, dan daerah, bukan nya menjadi tabungan bagi hanya segelintir pemilik modal yang penyebabkan rakyat menjadi utus jipen. Dalam jangka panjang pembangunan dan rakyat niscaya membutuhkan tanah namaun selaras dengan itu tanah sudah dikuasi oleh pemodal dengan HGU-nya yang bias berumur mencapai 95 tahun. Akibatnya penggunaan akan semakin menelan biaya tinggi karena harus berurusan dengan kapital yang sudah menguasai, hal ini berimplikasi pada ekonomi biaya tinggi bagi rakyat sementara alat produksi rakyat berupa lahan dan tanah semakain menyempit yang di barengi dengan kemampuan produksi pangan secara mendiri semakin menurun. Dapak susulan nya adalah kemiskinan dan kebodohan sembari menerima derita akibat bencana ekologis beruntun.

Akhirnya, penulis ingin menyapaikan saran agar sebaik nya acara obral murah dan sipat kemaruk terhadap modal dan dengan memberikan kemudahan dan dukungan super ( bahkan tutup mata atas pelanggaran ) kaum pemodal segera di kalkulasi ulang. Dalam jangka pendek untuk monumental barang kali hal ini akan terlihat “wah” tapi dalam jangka panjang 20 atau 50 tahun lagi akan kah kita akan bias melihat merah putih dikebun-kebun sawit yang secara de facto dikuasi oleh modal asing (*)

Penulis adalah Direktur Eksekutif Save Our Borneo dan Dewan Nasional WALHI

Tidak ada komentar: