Jumat, 30 April 2010

The “pink Area” investigation

Catatan.



Lokasi kampoeng atau dusun berada di kordinat : 49 M 0677983, UTM 9690293. Dan warganya berjumlah lebih dari 20 kepala keluarga, masyarakat memanfaatkan hutan dengan berburu bercocok tanam dan lain sebagainya. sebagian besar masyarakatnya adalah nelayan untuk keperluan sehari-hari. Setelah masuknya perkebuna kelapa sawit, masyarakat serasa di susahkan, dulunya bisa menangkap ikan 1 hari mencapai 30-50 kg (ikan jenis haruan, tahuman, karandang dll,) sekarang dalam 1 harinya hanya 5-8 kg, karena airnya sudah tercemar limbah dari kelapa sawit. Setelah masuknya perkebunan kelapa sawit masrakat menjadi terkekang segala macam bentuk aktivitasnya seperti mangaharu, gemur, berkebun, berburu dll. Karena di katakana di kawasan perkebunan tersebut tidak boleh dilakukannya perburuan satwa liar, “tapi contohnya pihak perusahaan bisa saja berburu dan lain sebagainya kenapa kami yang sejak dulu atau sebelum perkebunana ini masuk tidak diperbolehkan ”, ujar masyarakat dusun pondok haur.



Lokasi berada di kordinat 49 M 0675082, UTM 9693218 kawasan ini merupakan hutan rawa yang berada di aliran sungai Pukun. Sesuai dengan kordinat yang ada 49 M 0677793, UTM 9688849, kawasan ini merupakan hutan yang ditumbuhi blangiran dll, dan bukan semak-semak sudah di garap, 49 M 0674254, UTM 9690173, kawasan ini belum di garap dan titik ini merupakan hutan dan banyak di tumbuhi kayu jenis blangiran dan beberapa anak pohon jati. Kordinat yang kawasannya berhutan adalah : 49 M 0687720, UTM 9684984. 49 M 0687139, UTM 9685768. 49 M 0686023, UTM 9687443. 49 M 0686989, UTM 9684720. 49 M 0686666, UTM 9688159. 49 M 0686969, UTM 9688971. 49 M 0687976, UTM 9688131.kawasan ini adalah kawasan yang berhutan atau masih lebat, walaupun pohon-pohon yang besar sudah tidak ada, dan dalam tahap atau proses penggarapan (land clearing). Dari kesemua kordinat kawasan ini sebagian ada yang bergambut tipis dan rawa. Satwa yang berhabitat di kawasan ini bekantan, owa-owa/kalawet, orang utan, kijang, rusa, beruang, ahem/trenggiling, landak, lutung, kelasi, dan beberapa jenis burung seperti cucak hijau, muray batu dll.kawasan ini tidak memiliki situs-situs penting seperti, pahewan, kaleka, sandung dll, (kecuali di daerah perkampungan).

Operasional Wilmar sudah sampai di daerah sungai pukun dan pondok haur, sampai ke bagandang, (untuk di bagandang kita belum tau kondisinya). Yang sudah dilakukan adalah penanaman, leandclearing. Pembuatan parit-parit yang memanfaatkan aliran sungai pukun sebagai drainase/pengairan untuk perkebunan.

Jumat, 02 April 2010

UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN OLEH MASYARAKAT BATU KERBAU MELALUI WANATANI (ARGOFORESTRY)

UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN OLEH MASYARAKAT BATU KERBAU MELALUI WANATANI (ARGOFORESTRY)



I. PENDAHULUAN



Ada beberapa faktor penyebab kerusakan lingkungan, antara lain (a) pertambahan penduduk yang pesat, sehingga telah menyebabkan tekanan yang sangat berat terhadap pemanfaatan keanekaragaman hayati. Misalnya, timbulnya eksploitasi terhadap sumberdaya alam hayati yang berlebihan, (b) perkembangan teknologi yang pesat, sehingga kemampuan orang untuk mengeksploitasi keanekaragaman hayati secara berlebihan semakin mudah dilakukan, (c) makin meningkatnya penduduk lokal terlibat dalam ekonomi pasar kapitalis, sehingga menyebabkan eksploitasi keanekaragaman hayati secara berlebihan, (d) kebijakan dan pengelolaan keanekaragaman hayati yang sangat sentralistik dan bersifat kapitalis dan tidak tepat guna, dan (e) berubahnya sistem nilai budaya masyarakat dalam memperlakukan keanekaragaman hayati sekitarnya. Misalnya, punahnya sifat-sifat kearifan penduduk lokal terhadap lingkungan hidup sekitarnya. (Anonim, 2000)



Sistem eksploitasi yang dilaksanakan oleh HPH (Hak Pengusahaan Hutan) telah mengakibatkan berbagai dampak kerusakan fisik hutan yang serius, baik secara kualitas maupun kuantitas. Laju kerusakan hutan di daerah-daerah di Indonesia , khususnya Jambi saat ini telah sangat memprihatinkan (Anonim, 2003). Kearifan lokal seperti nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, persaudaraan dan sikap ketauladanan lainnya mulai banyak terkikis di dalam lingkungan budaya masyarakat. Oleh karena itu, pengelolaan keanekaragaman hayati yang holistik, berkelanjutan dan berkeadilan sosial bagi segenap warga masyarakat, sungguh diperlukan untuk mempertahankan kelestarian keanekaragaman hayati (Anonim, 2000). Di tengah gelombang kekerasan, keserakahan dan krisis identitas budaya lokal yang telah melumat habis ikatan kemanusiaan dan kebersamaan di banyak tempat di tanah air, ternyata masih ada kekuatan yang terus dipelihara untuk memperkuat teladan dan kearifan budaya di kalangan masyarakat adat (Rozaki, 2003). Propinsi Jambi merupakan salah satu wilayah penyangga (buffer zone) Taman Nasional Kerinci Seblat. Kawasan ini merupakan kawasan kelola rakyat yang tersebar di berbagai kabupaten. Ada berbagai bentuk kearifan lokal yang dilestarikan oleh masyarakat adat Jambi diantaranya adalah sistem wanatani (agroforestry) dan lubuk larang (Adnan, 2006).Pada desa-desa tua, masyarakat adatnya masih berpegang pada aturan sosial, ekonomi, dan budaya lama (Titien, 2001). Kearifan ini juga terlihat dalam pengelolaan sumberdaya alam melalui wanatani dan lubuk larang.



Desa Batu Kerbau adalah sebuah desa di kaki pegunungan Bukit Barisan yang berbatasan langsung dengan hutan lindung kawasan konservasi Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) di sebelah barat. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Batang Kibul, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin; sebelah utara dengan Desa Rantau Pandan, Kecamatan Rantau Pandan; dan sebelah timur dengan Desa Baru Pelepat (Thahar, 2004). Masyarakat adat Desa Batu Kerbau digolongkan desa tua, yang masih mempertahankan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya adat dengan kuat. Peran lembaga adat Desa Batu Kerbau tidak hanya mengatur masalah sosial dalam desa tetapi juga berperan dalam pengelolaan sumber daya alam. Ada beberapa kearifan lokal yang dimiliki oleh Desa Batu Kerbau dalam melestarikan sumber daya alam yaitu melalui (Anonim, 2004).

Laporan tentang keberadaan sistem pengelolaan sumber daya hutan oleh rakyat terus bertambah. Saat ini diketahui bahwa sistem ini telah lama tumbuh dan berkembang secara mandiri di hampir seluruh wilayah Indonesia. Para peneliti melaporkan bahwa sistem ini bukan saja menjamin kelestarian ekosistem sumberdaya hutan, namun juga berperan penting dalam mendukung sistem sosial budaya masyarakat, bahkan perekonomian tingkat lokal dan regional (Anonim, 2003). Adapun Tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengkaji besarnya peranan masyarakat adat Jambi dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam melalui kearifan lokal.



II. KEBERHASILAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BATU KERBAU DALAM MELESTARIKAN LINGKUNGAN MELALUI WANATANI



Ada berbagai kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat desa Batu Kerbau diantaranya yaitu wanatani dan lubuk larang. Kedua kearifan lokal ini memberikan pemahaman bahwa masyarakat setempat memiliki kemampuan untuk mengembangkan suatu konsep pengelolaan sumberdaya alam yang bersifat terbuka sehingga eksploitasi terhadap sumberdaya alam dapat dikurangi.

Wanatani merupakan suatu bentuk pengelolaan sumberdaya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau pohon kayu-kayuan dengan penanaman komoditas Atau tanaman jangka pendek, seperti tanaman pertanian (Anonim, 2007). Menurut Adnan (2006) wanatani merupakan suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam yang dinamis dan berbasis ekologi, dengan memadukan pepohonan sehingga mampu mempertahankan tingkat dan keragaman produksi. Sistem ini memungkinkan terjadinya interaksi antara ekologi dan ekonomi serta unsur-unsur lainnya, terutama dengan sosial-budaya sehingga dapat terwujud pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Fay dan Sirait (2007) wanatani sebagai suatu bentuk pengelolaan sumber daya alam memiliki karakteristik yang berbeda dengan sumber daya alam lainnya, misalnya laut, tambang, sumber daya angin, hutan alam maupun usaha pertanian sawah misalnya. Wanatani lahir dari suatu inovasi manusia untuk mengembangkan fungsi privat tanpa meninggalkan fungsi publiknya.



Dalam masyarakat Jambi sistem wanatani bukan sesuatu yang baru karena sudah lama dikenal. Kawasan hutan adat desa di Desa Batu Kerbau merupakan suatu kawasan yang hanya dapat dimanfaatkan oleh anak negeri Desa Batu Kerbau dengan izin dari pengurus dan aturan yang sudah disepakati. Kawasan ini memiliki luasan sebesar 388 ha. Setiap pengambilan 1 meter kubik kayu dikenakan sumbangan Rp. 25.000 yang dipergunakan untuk pembangunan desa. Hasil-hasil sumberdaya alam yang diambil dari hutan tidak diperkenankan untuk dijualbelikan. Sedangkan untuk pohon sialang dan buah-buahan hutan pengambilannya tidak boleh ditebang, dan kepemilikan pohon sialang tetap pada pemilik awal, serta pada waktu panen dikenakan sumbangan untuk desa. Sesap yang masuk dalam kawasan hutan adat desa maka kepemilikannya tetap dan tidak boleh menambah dengan bukaan baru. Pengelolaan sesap tersebut diharapkan ditanami dengan tanaman tua (Anonim, 2004a).



Hutan Adat Desa merupakan kawasan hutan yang masih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat secara terbatas, dan didalam pemanfaatannya harus mendapat izin kelompok adat serta pemerintahan desa. Sedangkan Hutan Lindung Desa merupakan kawasan yang tidak dimanfaatkan karena merupakan sumber air. Hutan dan kawasan ini memiliki fungsi hidrologis, yaitu menjadi daerah tangkapan dan sumber mata air, sumber air sawah, dan menjadi hulu dari beberapa sungai. Juga memiliki fungsi ekologis dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya dan menjadi penyangga (buffer zone) TNKS, maupun pencegah terjadinya erosi dan longsor. Fungsi lainnya adalah social budaya, dimana hutan dan kawasan menjadi sumber bagi obat-obatan tradisional, bahan-bahan dan tempat untuk upacara adat. Serta fungsi kesejahteraan dengan menyediakan potensi kayu untuk pembangunan desa dan non kayu, seperti potensi getah kayu balam dan pinus, rotan, jernang, dan lainnya (Adnan 2006).

Untuk itu juga diberlakukan sanksi terhadap pelanggaran aturan kawasan hutan adat desa, yaitu:
a. Bagi masyarakat lokal/luar yang mengambil kayu, rotan, manau dan segala kandungan hutan ada desa tanpa seizin pengurus dikenakan denda uang Rp. 2.500.000 dan disita menjadi milik desa

b. Sanksi adat: kambing 1 ekor, beras 20 gantang, selemak semanis dan kain 4 kayu.
Hutan lindung desa merupakan kawasan yang tidak dimanfaatkan karena merupakan sumber air. Kesepakatan ini dimotori oleh para pengetua adat dan pegawai pemerintahan desa. Batas-batas hutan adat mengacu kepada aturan adat, yakni wilayah Bukit Gedang dan Bukit Menangis yang terletak antara Batang Pelepat dan Batang Kibul. Sanksi terhadap pelanggaran aturan Kawasan Lindung Desa adalah: Sanksi adat : Kerbau 1 ekor, beras 100 gantang, kelapa 100 buah, selemak semanis dan kain 8 kayu. Kayu, rotan, manau dan segala yang diambil dari kawasan lindung desa yang tidak sesuai dengan ketentuan, disita menjadi milik desa. l Jika sanksi adat tidak diterima, maka akan diajukan ke hukum negara. (Anonim, 2004a)
Pengelolaan kawasan hutan adat ini dilatarbelakangi oleh perusahaan yang mendapatkan HPH, sehingga daerah sesapan menjadi meningkat drastis. Setelah desa Batu Kerbau dicabut HPH atas hutan di Desa Batu Kerbau maka masyarakat berusaha untuk menguasai lahan-lahan bekas perusahaan yang mendapatkan HPH sebagai cadangan. Sebelum adanya kegiatan HPH beroperasi di wilayah desa secara adat tata cara pembukaan lahan perladangan telah diatur dan dipatuhi anggota masyarakat, akan tetapi pengaturan lebih ditekan kepada anggota masyarakat dari luar desa. Bagi setiap masyarakat luar desa yang ingin membuka lahan harus membayar dan mematuhi aturanaturan yang ditetapkan lembaga adat. Disamping itu pendatang di haruskan menjalani acara pengangkatan sebagai anggota masyarakat, setelah semua syarat-syarat terpenuhi maka hak dan kewajibanya akan sama dengan masyarakat lainnya.

Upaya meningkatkan peran masyarakat ini, direncanakan tujuh areal eks HPH dikelola kembali. Konsep yang diterapkan untuk pengelolaan eks HPH ini yaitu lahan kosong dan semak belukar direhabilitasi dengan model agroforestry (Wanatani). Maksudnya penanaman jenis tumbuhan hutan, kebun (karet dan sawit), serta tanaman pangan. Sedangkan kawasan hutan yang telah menjadi kebun rakyat diterapkansistem pengelolaan melalui PPHM (Program Pengelolaan Hutan dan Masyarakat) (Anonim, 2003).
Selain membangun hutan adat, penduduk Desa Batu Kerbau membuat lubuk-lubuk larangan (sungai dan danau yang tidak boleh dimanfaatkan) . Penetapan Lubuk Larangan dilakukan melalui keputusan adat dan dengan acara religius, yaitu pembacaan kitab suci Al Quran, Surat Yassin, di pinggir sungai oleh seluruh warga. Tujuannya, agar ikan yang berada di Lubuk Larangan cepat memijah dan besar, serta tidak diambil oleh warga Di lubuk larangan itu tidak diperbolehkan mengambil ikan, kecuali pada musim panen sekali setahun. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga kelestarian ikan yang ada di sungai dan danau yang ada di daerah itu. Untuk memperkuat hukum mereka memberikan sanksi bagi yang melanggar dan diputuskan oleh tokoh masyarakat dan tetua adat. Bagi warga masyarakat atau siapa pun yang melanggar aturan menangkap ikan di lubuk-lubuk larangan akan dikenakan denda adat (Anonim, 2004b). Aturan yang berlaku adalah sanksi adat : Kambing 1 ekor, beras 20 gantang, selemak semanis, dan kain 4 kayu l Dibacakan surat yasin 40 kali tamat. l Denda uang Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah).
Berbagai contoh peran serta masyarakat telah membuktikan akan keaktifannya dalam melestarikan alam. Adanya kearifan tradisional di berbagai daerah lndonesia, mampu menjaga lingkungan dari kerusakan dan memelihara keanekaragaman hayati.
Di Sumsel, Jambi, Bengkulu, Jawa Barat dan Lampung ada kesadaran di kalangan Pemerintah Daerah untuk menghidupkan nilai budaya yang melekat dalam diri masyarakat adat untuk mengelola hutan lindung dan kelestarian alam. Di Jambi, tokoh masyarakat dan pemerintah daerah serta cendekiawan menggunakan falsafah budaya dan ikatan kekkerabatan untuk mencegah konflik social (Sianipar, 2004). Jambi memiliki beberapa jenis model pengelolaan hutan berbasis masyarakat baik traditional atau asli maupun yang diperkenalkan. Model pengelolaan yang tradisional berakar pada institusi tradisional dalam hal ini adat. Di masa lalu institusi adat sangat kuat dengan aturan main dan penegakan aturan yang ketat. Model pengelolaan hutan yang diperkenalkan antara lain difasilitasi oleh LSM maupun swasta. Pengelolaan hutan tradisional antara lain Hutan Adat Desa, Rimbo Larangan dan Lubuk Larangan (Sungai di dalam hutan yang hanya boleh diambil ikannya dalam periode tertentu berdasarkan aturan adat) serta yang berkembang belakangan adalah Hutan Lindung Desa yang dibantu oleh LSM dan pemerintah setempat (Anonim, 2006). Keberhasilan Desa Adat Batu Kerbau tidak lepas dari bantuan LSM yang memberikan arahan dan advokasi dalam memperoleh pengukuhan dari Bupati Bungo.
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa kearifan lokal pada Desa Batu Kerbau merupakan salah satu upaya yang telah berhasil dalam melestarikan lingkungan hidup. Keberhasilan ini khususnya dalam sistem pengelolaan hutan dan air melalui wanatani dan lubuk larang. Bukti nyata dari keberhasilan ini adalah dengan didapatnya penghargaan Kalpataru dari pemerintah untuk kategori penyelamat lingkungan tahun 2004. Ini menunjukkan bahwa pemerintah telah mengakui adanya keberadaan masyarakat adat di Desa Batu kerbau dan mengakui hak dan aturan yang dimiliki oleh desa tersebut (Thahar, 2004).
Sebelum mendapatkan penghargaan Kalpataru sebagai penyelamat lingkungan, masyarakat adat Desa Batu Kerbau telah lama berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah melalui perjalanan panjang. Tetapi mereka berhasil mendapatkan pengakuan tentang Pengukuhan Hutan Adat melalui SK Nomor 1249 tahun 2002 tanggal 14 Juli 2002 yang diterbitkan oleh Bupati Bungo. bukan tanpa perjuangan. Sebelum mendapatkan pengukuhan tersebut mereka telah lama mengalami berbagai permasalahan mulai dari tidak bisa mengambil hasil hutan non kayu (rotan, Damar, manau, dan getah jemang), dan kotornya air sungai akibat operasi alat berat perusahaan yang memiliki HPH di hulu sungai sehingga, setiap tahun masyarakat desa mengalami wabah muntaber. Kemudian masyarakat desa tersebut mengusahakan agar perusahaan yang memiliki HPH untuk pergi dari desa tersebut. Kemudian mereka pun menetapkan sepotong sungai untuk menjadi lubuk larangan untuk mengelola kawasan hutan dengan kearifan adat (Thahar, 2004).
Dari keberhasilan yang sangat positif tersebut maka sudah saatnya sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh rakyat dipandang sebagai suatu pendekatan alternatif dalam pengelolaan sumber daya hutan Indonesia. Sistem ini menawarkan nilai-nilai, konsep-konsep, pranata-pranata, metodologi, teknik, dan ketrampilan inovatif dalam mengelola sumber daya hutan. Berkaitan dengan semangat tersebut, wakil-wakil masyarakat sipil yang bekerja di perguruan tinggi, lembaga penelitian, instansi pemerintah, perusahaan swasta dan BUMN, LSM, masyarakat adat dan masyarakat lokal yang berdedikasi dan memiliki perhatian besar pada kehutanan masyarakat, telah memulai proses diskusi, kajian, dialog kebijakan, penelitian dan program aksi lapangan yang mendukung pengembangan kehutanan masyarakat (Anonim, 2003). Tugas selanjutnya yang maha penting adalah bagaimana memelihara dan merawat kearifan lokal itu agar senantiasa hidup dan menyala di dalam hati nurani manusia Indonesia (Rozaki, 2003).

III. PENUTUP

Wanatani merupakan kearifan lokal yang sangat bermanfaat dalam menjaga kelestarian lingkungan. Pembatasan-pembatas an dalam mengeksploitasi lingkungan berarti menghargai lingkungan sebagai salah satu komponen dari sistem ekologi. Masyarakat Desa Adat Batu Kerbau merupakan contoh nyata dari sekian banyak masyarakat adat di Indonesia yang ternyata masih bisa bertahan di tengah arus pembangunan yang belum berkelanjutan. Kearifan lokal di Desa Adat Batu Kerbau ternyata lebih menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan dibandingkan perusahaan yang menggunakan teknologi canggih tapi untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Wanatani memberikan paradigma baru dalam bidang pelestarian lingkungan yang memiliki keuntungan dari setiap segi pembangunan berkelanjutan yaitu memberikan keuntungan secara ekonomi, mudah diterapkan secara sosial budaya dan menjaga kelestarian sumberdaya alam.

INISIATIF LOKAL DALAM SOLUSI PERUBAHAN IKLIM UNTUK KEBERLANJUTAN PENGHIDUPAN MENUJU KEADILAN IKLIM DISKUSI KRITIS SRIWIDADI/LAMUNTI B3 28 MARET 2010

INISIATIF LOKAL DALAM SOLUSI PERUBAHAN IKLIM

UNTUK KEBERLANJUTAN PENGHIDUPAN MENUJU KEADILAN IKLIM

DISKUSI KRITIS SRIWIDADI/LAMUNTI B3 28 MARET 2010


Pengantar




Perubahan iklim atau sering di sebut dengan pemanasan global disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi karbon dioksida (CO2) dan gas-gas pencemar lain di atmosfer sehingga panas dari matahari terperangkap oleh gas-gas di dalam atmosfer bumisehingga gas-gas yang menangkap panas dengan membentuk selimut di sekeliling bumi seperti gelas dalam rumah kaca, sekali dilepaskan gas rumah kaca akan tetap tinggal di atmosfer selama bertahun-tahun. Ketika jumlahnya semakin banyak, tmpratur bumi akan meningkat.

Ada beberapa Dampak dan ancaman dari perubhan iklim : , curah hujan diramalkan semakin pendek, tetapi lebih lebat, serta meningkatkan resiko banjir; 65 negara selatan akan kehilangan 280 ton sereal (mis: gandum,padi) , sekitar 16% dari output pertanian, jika suhu global naik dari 1.5 – 2.5 derajat celcius - 20 -30 spesies dalam resiko kepunahan; berdampak pada ekosistemdan hama; meningkatnya penyakit dan acaman banjir meningkatnya cuaca silicon tropis yang mengancam keselamatan warga; peristiwa cuaca extreme, sangat mungkin cuaca panas extreme, gelombang panas, dan hujan lebat akan semakin sering terjadi; hilangnya pertanian dan perikanan, menambah biaya pengelolaan sumber-sumber penghidupan, rusaknya infrastruktur dan meningkatnya biaya hidup yang mengancam penduduk local.

Kalimantan tengah menjadi salah satu wilayah yang menjadi proyek REDD karena kawasan Gambutnya, selain Riau dan Papua sedangkan sekarang ini yang menjadi pertanyaan proyek REDD di Kalimantan tengah ; KFCP yang berkerja sama dengan USAID Australia dan wilayah kerjanya mencakupi di kawasan PLG yaitu di Blok A dan E, selanjutnya PT. RMU (restorasi ekologi) starling resource di katingan dan kotim, PT. Invinite Earth, sebelah timur kawasan taman nasional, dan PLG Blok A ada rencana restorasi Ekosistem seluas 305.000 Ha, berdasarkan permohonan PT. Gemilang Kurnia Lestari dan PT. Indo Carbon Lestari, (kesemua perusahaan tersebut masih dalam ruang lingkup Sinar mas dan Wilmar Group). Nah dari hasil pantauan di lapangan dan masyarakat yang mengetahui sudah tentang proyek tersebut mengatakan bahwa “jangan-jangan dari kesemua proyek percontohan ini adalah topeng belaka, katanya akan melakukan penghijauan akan tetapi yang di maksud adalah untuk perluasan kawasan perkebunan kelapa sawit”. Dan kesemua itu adalah proyek percontohan.


Proses kegiatan



a. Apa yang dimaksud Keselamatan warga menurut pandangan warga

kebebasan dan kesejahteraan masyarakat yang dilindungi dan masyarakat berhak mempertahankan hak yang dimilikinya dan terbebas dari tekanan dari luar baik dari alam dan manusia itu sendiri, agar alam selamat dari bencana dan agar segala sesuatu itu dengan mudah di tangani dan jangan selalu dipersulit,.

b. Bagaimana cara menjamin keselamatan warga

perlu pendampinagn untuk warga secara terbuka dan memberikan cara-cara/ langkah-langkah untuk menanggulangi kerusakan ekonomi dan lain sebagainya,serta memberikan perlindungan serta memberikan kebebasan yang di lindungi oleh undang – undang.

c. Siapa yang harus menerapkan/ menjamin keselamatan warga

Pemerintah, swata dan masyarakat itu sendiri siapa lagi sendiri orang lain(selain masyarakat itu sendiri dan pemerintah setempat).

d. Lingkungan yang sehat menurut pandangan masyarakat

Lingkungan yang di proyeksikan demi masyarakat dan masyarakat itu sendiri sebagai basis pengelolaannya, serta sumber-sumber air yang bersih dan sehat, udara bersih dan bebas polusi, tidak rentan/ bebas dari berbagai penyakit, tidak terjadi kerusakan lingkunagn, serta lingkungan yang layak contoh: kerukunan masyarakat dalam bergotong royong dalam menciptakan lingkungan yang sehat, rapi, teratur.

e. Apa yang di maksud dengan kawasan kelolan masyarakat

Kawasan yang dikelola oleh masyarakat secara syah, dan tidak boleh di ganggu gugat oleh siapapun, dan kawasan untuk hak kelola masyarakat sebagai usaha masyarakat itu sendiri.



Kesemua di atas adalah konteks keselamatan warga menurut masyarakat itu sendiri dan ada beberapa pertanyaan kunci yaitu :







1. Tata kuasa atas sumber daya alam di kawasan eks PLG.

- Bagaimana sumber-sumber yang penting untuk kehidupan di kuasai oleh siapa?

Perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet serta pertanian warga.

- Untuk kepentingan/ digunakan apa kawasan tersebut?

Dari sekian banyak lahan yang ada di masyarakat dan sumber daya alamnya itu kebanyakan dipergunakan sebagai kawasan perkebunan kelapa sawit, dan tempat/lahan pembibitan plasma inti, katanya tapi masih saja di Tanami.

- Siapa saja aktornya?

Investor, Masyarakat dan Pemerintah.

- Apa ketentuan-ketentuan hukum yang melegalkan penguasaan lahan ( Inpres, Masterplan, KFCP, Adat, SKT dll )

Inpres dan Adat karena mungkin itu yang kami warga Sriwidadi khususnya di Lamunti B3 rasakan sampai sekarang ini, untuk yang lain meragukan.

2. Tata guna lahan dalam pemanfaatan sumber daya alam di kawasan DAS Mangkatip/eks PLG

- Bagaimana lahan dipergunakan dan untuk keperluan apa saja?

Perkebunan dan Pertanian sebagai penghasilan dan penghidupan sehari-hari.

- Siapa yang mengelola dan mengunakan lahan tersebut?

Investor dan masyarakat

- Bagaimana proses perubahan kepemilikian lahan terjadi (perampasan, jual beli, dll )

Jual beli dan di pinjam oleh pihak perusahaan kelapa sawit, tapi katanya saja yang jual beli dan pimjam nyatanya sampai sekarang kesepakatan itu hanya di mulut saja mereka semua bohong masih saja lahan hak milik masyarakat yang di serobot/di rampas oleh pihak perusahaan walaupun masyarakat itu sendiri memiliki bukti kepemilikan hak lahan yang syah (sertipikat tanah).

- Bagaimana proses perubahan kondisi tutupan lahan/perusakan lingkungan terjadi ( aktivitas

perusahaan, illegal logging dll )

yang dilihat sampai sekarang ini adalah kebakaran hutan, dan penggudulan hutan (Deforestasi) oleh pihak perusahaan yang secara membabi buta di kawasan hutan dan di lahan hak milik warga, selebihnya tidak tahu.

3. Tata produksi

- Bagaimana hutan dan lahan gambut dikelola?

Dengan cara menerapkan inisiatip local yaitu dengan menggunakan alat semi modern, dan juga tidak menggunakan bahan – bahan yang tidak merusak (khusus pertania).

- Apa saja yang di kelola?

Buah – buahan, karet sayur-mayur.

- Untuk siapa kawasan tersebut di kelola (penerima manfaat )?

Masyarakat sendiri, dan perusahaan perkebunan kelapa sawit

4. Tata komsumsi

- Bagaimana warga sekitar kawasan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya (sandang, pangan dan papan )

Menyadap keret, menanam sayur-mayur, buah-buahan, dan ada sebagian warga yang menjadi

pekerja di perusahaan kalapa sawit.

- Bagaimana kemampuan ekologis wilayah PLG saat ini memenuhi kebutuhan dasar warga?

Kalau dilihat di masa sekarang, sepertinya kemampuan ekologisnya berkurang karena banyak dampak-dampak yang di timbulkan oleh yang namanya pemanasan global dan juga yang paling parah lagi adalah perkebunan kelapa sawit, “ banyangkan dulu masyarakat bisa bercocok tanam baik itu sayuran ataupun padi, masih bisa tumbuh dengan baik, kalau sekarang susah! Jangankan sayur padi pun susah panen, karena hama dari perkebunan kelapa sawit dan apalagi kalau samapai waktunya musim kemarau kendalanya adalah kebakaran lahan.”



Dalam diskusi ini juga di hadiri oleh kepala Desa dan perangkatnya, tokoh masyarakat dan beberapa perwakilan masyarakat