Jumat, 12 Maret 2010

Tempatkan Masyarakat sebagai Mitra

Bencana alam dan lingkungan hidup merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya terus menjadi bahan kajian yang selalu dikaitkan dengan perilaku kehidupan manusia. Itu sebabnya pengelolaan lingkungan hidup menjadi sangat penting dalam kehidupan sehari‑hari.

Demikian dikemukakan anggota DPD RI Drs HA Hafidh Asrom MM kepada wartawan, Jumat (12/3), berkaitan dengan diselenggarakannya diskusi interaktif di RRI Programa I Yogyakarta, Sabtu (13/3) hari ini.

"Masyarakat di tingkat lokal harus dirangsang untuk berpartisipasi aktif membuat aturan pengelolaan sumberdaya alam daerahnya. Sedangkan pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator pembangunan, di samping adanya bantuan teknis dan fasilitator dari lembaga‑lembaga yang berwenang," kata dia.

Untuk meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat, sangat diperlukan adanya konsultan yang dapat mempercepat proses peningkatan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan.

Menurut Hafidh Asrom, masyarakat perlu ditempatkan sebagai mitra kerja dalam perencanaan, pengelolaan dan pelestarian lingkungan termasuk pengambilan keputusan pengelolaan sumberdaya alam.

"Kelompok‑kelompok masyarakat harus dilibatkan aktif dalam proses perencanaan dan pengawasan serta evaluasi suatu program pemberdayaan lingkungan hidup," ujar Hafidh Asrom yang juga calon bupati Sleman ini.

Pengelolaan Lingkungan hidup berbasis masyarakat, lanjut dia, diperlukan mengungat degradasi atau kerusakan lingkungan semakin kritis sehingga diperlukan upaya pemulihan. "Jika ini bisa dilakukan sedikit demi sedikit krisis lingkungan bisa ditekan. Masyarakat dapat memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah-masalah lingkungan," harapnya.

Berdampak ke petani

Dari berbagai hasil penelitian dan bukti empirik lainnya, krisis lingkungan hidup di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat. Setidaknya ini terbukti semakin maraknya musibah bencana alam berupa tanah longsor, banjir maupun pencemaran lingkungan.

Setidaknya pula, berdasarkan data dari Dirjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum yang dirilis awal Maret 2010, sekitar 70 juta penduduk Indonesia hidup tanpa sanitasi dasar dan air bersih layak minum.

Dari perspektif ekonomi, krisis lingkungan dalam skala besar mempengaruhi iklim. Dampaknya dirasakan langsung para petani. Siklus aktivitas petani berubah seiring berubahnya pola tanam.

Hal yang sama dirasakan para nelayan yang tak bisa melaut karena ombak besar. "Jika kondisi ini tidak segera dilakukan penyelamatan diyakini bisa menimbulkan krisis lingkungan yang lebih besar," tambahnya.

Sebagai perbandingan, dari hasil survai tentang Environmental Performance Index (EPI) 2008 yang dilakukan Universitas Yale, disebutkan Indonesia kini berada di urutan ke‑102 dari 149 negara yang berwawasan lingkungan. Sedangkan Malaysia menempati peringkat 26.

Begitu pula eskalasi pemanasan bumi. Hasil kajian Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2007), menunjukkan bahwa 11 dari 12 tahun terpanas sejak tahun 1850 terjadi dalam waktu 12 tahun terkhir.

Kenaikan suhu sejak tahun 1850‑2005 adalah 0,76 derajat Celcius, dengan kenaikan tinggi muka laut rata‑rata 1,8 mm per tahun yakni tahun 1961‑2003 dan menjadi 0,17 meter pada abad XX.

Tidak ada komentar: