Jumat, 12 Maret 2010

Perjuangan Feminisasi Politik

Ada tesis yang mengatakan bahwa meningkatnya jumlah wakil perempuan di dunia politik akan mengubah wajah politik. Benarkah demikian? Ketika perempuan memperoleh kursi di parlementer ada sejumlah persyaratan bagi perempuan untuk bertingkah laku seperti laki-laki. Keterwakilan perempuan di dunia politik masih dibingkai dengan aturan-aturan main yang dibuat oleh laki-laki. Ironis! Inilah kepura-puraan politis! Di satu sisi, memberikan kesempatan untuk keterwakilan perempuan, tetapi di sisi lain gerak perempuan masih dibatasi oleh arogansi maskulinitas. Praktek-praktek politik masih sangat menghargai bentuk-bentuk maskulinitas tradisional dan tidak mengijinkan bentuk-bentuk feminitas tradisional. Politik berparas perempuan, tetapi berjiwa laki-laki.

Politik perempuan yang masih paradoks dan terbelah inilah yang kerap membuat gusar kaum feminis kontemporer. Perempuan seolah masih dipermainkan dengan beragam atribut yang terus mengkerdilkan peran public perempuan. Situasi social juga dirintangi dengan snagat ketat, sehingga gerak politik perempuan mudah tersendat di persimpangan jalan. Fakta inilah yang dikuak secara mendalam oleh Joni Lovenduski dalam bertajuk “Politik Berparas Perempuan”.

Lovenduski melihat bahwa perempuan menghadapi rintangan yang serius untuk menjadi pelaku politik. Pertama, sumber daya perempuan yang diperlukan untuk memasuki wilayah politik lebih lemah. Perempuan lebih miskin dari pada laki-laki dan cenderung tidak ditempatkan pada jabatan-jabatan yang mendukung kegiatan politik. Kedua, bermacam-macam kekangan gaya hidup yang menyebabkan perempuan mempunyai sedikit waktu untuk politik. Kelurag dan kewajiban-kewajiban lain yang menuntut kewajiban penuh secara khas dijalankan oleh perempuan telah mengurangi waktu mereka untuk melakukan kegiatan lain. Ketiga, tugas politik dikategorikan sebagai tugas laki-laki yang menghalangi kaum perempuan mengejar karier politik dan menghalangi rekruetmen politik bagi mereka yang ingin tampil ke depan. (hal. 88).

Kendala yang juga sangat krusial, bagi penulis, juga terletak dalam kendala institusional. Lembaga dan kebijakan public didesains sedemikian rupa sehingga perempuan tidak memiliki akses dan kesempatan untuk mendapatkan ruang public yang sesuai dengan kompetensi mereka. Karena kendalanya sudah sistemik, maka perempuan banyak terjebak dalam kubangan yang “mengerikan”, karena keterwakilannya di lembaga perwakilan rakyat juga masih belum banyak bisa melakukan gerak perubahan yang maksimal. Tak lain karena sendiri dalam lembaga Negara juga sudah terjebak dengan ragam kebijakan yang tak ramah dengan kaum perempuan.

Negara-negara di Timur Tengah masih banyak yang menerapkan standar ganda bagi perempuan. Lovenduski melihat bahwa perempuan di Timur Tengah belum mendapatkan tempat yang layak dalam ruang public, karena seksisme politik masih sangat kental dalam dunia perpolitikan di Timur Tengah. Arab Saudi, Mesir, Syiria, dan lainnya menjadi contoh yang diurai penulis bahwa Negara Timur Tengah masih sangat maskulin, hak-hak feminis masih terbelenggu system institusional yang snagat mengekang perempuan berkiprah di ruang public. Barangkali tidak salah kalau tidak sedikit kasus tenaga kerja wanita yang bertugas di Timur Tengah mendapatkan perlakukan yang tidak hormat, karena pandangan public ihwal perempuan di Timur Tengah masih terbelah.

Namun demikian, penulis juga mengkritik pola perilaku demokrasi di Barat yang sebenarnya juga masih banyak kasus yang mencederai perempuan. Di Inggris, penulis melihat bahwa partai-partai politik belum memberikan porsi sederajat bagi perempuan untuk berkiprah. Baik Partai Republik, Partai Demokrat, Partai Buruh, belum melakukan gerakan radikal dalam memberdayakan keterwakilan perempuan di dunia politik. Ini berimplikasi bahwa perempuan yang duduk di lembaga perwakilan juga belum bisa menyuarakan secara total dalam mengangkat harkat dan martabar perempuan di dunia politik. Ini sebuah ironis, karena Barat selama ini selalu menggelorakan feminisasi politik, tetapi pencederaan atas politik perempuan ternyata masih kental di sana. Dan ini diakui oleh penulis buku ini yang merupakan professor politik di London.

Maka dari itu, Lovenduski bergerak dalam argumennya bahwa keadilan social sangat realistis untuk mendudukkan perempuan secara sederajat dengan laki-laki. Bagi penulis, argumen yang paling kuat untuk mendukung bertambahnya perwakilan perempuan adalah argument yang di dasarkan pada prinsip-prinsip keadilan. Argument tersebut menyatakan bahwa sangatlah tidak adil jika kaum laki-laki memonopoli perwakilan, terutama di suatu Negara yang menganggap diri sebagai Negara demokrasi modern. Mengutip Anne Phillips, penulis menyatakanbahwa “tidak ada argument yang bertolak dari keadilan dapat mempertahankan keadaan seperti sekarang ini; dan…ada argument keadilan untuk kesamaan antara perempuan dan laki-laki. Argument-argumen tambahan mengenai kodrat perwakilan dapat mengaburkan inti pokok itu, tetapi argument-argumen tambahan itu tidak pernah dapat membalikkannya.

Argument keadilan juga di dukung oleh klaim-klaim dari kewargaan. Kewargaan merupakan sekumpulan hak, kewajiban, alat kelengkapan, dan identitas yang membentuk milik seseorang dalam system politik. Dalam istilah-istilah konstitusional, perempuan secara formal mempunyai kewargaan yang sama dengan laki-laki dalam sistem-sistem demokratis. Namun demikian, cara tatanan-tatanan kelembagaan merumuskan kewargaan dapat memiliki pengaruh berbeda pada perempuan dan laki-laki. Demokrasi di Negara modern yang di pahami secara sempit yang di gambarkan di atas memungkinkan sistem pemilihan yang secara khusus tidak menguntungkan bagi perempuan. Dapat di perdebatkan, sistem pemilihan Westminster merupakan rintangan besar bagi perwakilan perempuan (hal. 48-49).

Perjuangan feminisasi politik yang diakui penulis memang masih terjal. Tetapi itu tidaklah kemudian menyurutkan spirit kaum feminis untuk bergerak lebih maju, karena jalan terjal inilah yang akan membuka tabir dan titik terang untuk pencerahan kaum perempuan di masa depan.

Tempatkan Masyarakat sebagai Mitra

Bencana alam dan lingkungan hidup merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya terus menjadi bahan kajian yang selalu dikaitkan dengan perilaku kehidupan manusia. Itu sebabnya pengelolaan lingkungan hidup menjadi sangat penting dalam kehidupan sehari‑hari.

Demikian dikemukakan anggota DPD RI Drs HA Hafidh Asrom MM kepada wartawan, Jumat (12/3), berkaitan dengan diselenggarakannya diskusi interaktif di RRI Programa I Yogyakarta, Sabtu (13/3) hari ini.

"Masyarakat di tingkat lokal harus dirangsang untuk berpartisipasi aktif membuat aturan pengelolaan sumberdaya alam daerahnya. Sedangkan pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator pembangunan, di samping adanya bantuan teknis dan fasilitator dari lembaga‑lembaga yang berwenang," kata dia.

Untuk meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat, sangat diperlukan adanya konsultan yang dapat mempercepat proses peningkatan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan.

Menurut Hafidh Asrom, masyarakat perlu ditempatkan sebagai mitra kerja dalam perencanaan, pengelolaan dan pelestarian lingkungan termasuk pengambilan keputusan pengelolaan sumberdaya alam.

"Kelompok‑kelompok masyarakat harus dilibatkan aktif dalam proses perencanaan dan pengawasan serta evaluasi suatu program pemberdayaan lingkungan hidup," ujar Hafidh Asrom yang juga calon bupati Sleman ini.

Pengelolaan Lingkungan hidup berbasis masyarakat, lanjut dia, diperlukan mengungat degradasi atau kerusakan lingkungan semakin kritis sehingga diperlukan upaya pemulihan. "Jika ini bisa dilakukan sedikit demi sedikit krisis lingkungan bisa ditekan. Masyarakat dapat memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah-masalah lingkungan," harapnya.

Berdampak ke petani

Dari berbagai hasil penelitian dan bukti empirik lainnya, krisis lingkungan hidup di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat. Setidaknya ini terbukti semakin maraknya musibah bencana alam berupa tanah longsor, banjir maupun pencemaran lingkungan.

Setidaknya pula, berdasarkan data dari Dirjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum yang dirilis awal Maret 2010, sekitar 70 juta penduduk Indonesia hidup tanpa sanitasi dasar dan air bersih layak minum.

Dari perspektif ekonomi, krisis lingkungan dalam skala besar mempengaruhi iklim. Dampaknya dirasakan langsung para petani. Siklus aktivitas petani berubah seiring berubahnya pola tanam.

Hal yang sama dirasakan para nelayan yang tak bisa melaut karena ombak besar. "Jika kondisi ini tidak segera dilakukan penyelamatan diyakini bisa menimbulkan krisis lingkungan yang lebih besar," tambahnya.

Sebagai perbandingan, dari hasil survai tentang Environmental Performance Index (EPI) 2008 yang dilakukan Universitas Yale, disebutkan Indonesia kini berada di urutan ke‑102 dari 149 negara yang berwawasan lingkungan. Sedangkan Malaysia menempati peringkat 26.

Begitu pula eskalasi pemanasan bumi. Hasil kajian Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2007), menunjukkan bahwa 11 dari 12 tahun terpanas sejak tahun 1850 terjadi dalam waktu 12 tahun terkhir.

Kenaikan suhu sejak tahun 1850‑2005 adalah 0,76 derajat Celcius, dengan kenaikan tinggi muka laut rata‑rata 1,8 mm per tahun yakni tahun 1961‑2003 dan menjadi 0,17 meter pada abad XX.

Sampah Pemicu Kerusakan Lingkungan

Tingginya volume sampah yang mencapai 6.500 ton per hari, nampaknya menimbulkan ancaman adanya kerusakan lingkungan di wilayah DKI Jakarta. Terlebih jumlah penduduk kian bertambah sehingga tidak menutup kemungkinan volume sampah pun akan turut bertambah. Saat ini, tercatat jumlah penduduk DKI sebanyak 9,7 juta jiwa pada saat malam hari. Sedangkan di siang hari, jumlahnya bisa mencapai 12,5 juta.

"Sampah menjadi faktor penentu bagi kualitas lingkungan kita. Bukan hanya pada saat ini saja, namun juga pada masa yang akan datang," kata Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta, pada Seminar Manajemen Sampah dan Lingkungan Hidup di Jakarta, di Hotel Grand Cempaka, Kamis (11/3) sore.

Sejatinya Pemprov DKI telah mulai melakukan berbagai penanganan terhadap sampah. Misalnya untuk sampah padat, penanganannya melalui pendekatan kepada masyarakat. Cara lama yang digunakan masyarakat dalam membuang sampah, yakni sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang. Pola ini mulai diubah secara perlahan, yakni Pemprov DKI menekankan cara yang lebih tepat dengan pola 3R yaitu, Reuse (menggunakan kembali), Reduce (Mengurangi), Recycle (daur ulang). Pola ini sudah diterapkan di 700 RW di DKI dan ke depan akan dikembangkan lagi hingga ke seluruh RW di DKI yang mencapai 2.500 RW.

Pemprov DKI juga mengembangkan pengelolaan sampah secara modern. Salah satunya kerja sama dengan Pemerintah Kota Bekasi dalam program memproses sampah menjadi energi. Saat ini program tersebut sudah rampung dan tinggal menunggu proses ujicoba. Untuk tahap awal, energi listrik yang akan dihasilkan sebesar 2 mega watt (MW). Namun nantinya ditargetkan bisa mencapai energi sebesar 26 mega watt. Langkah ini dilakukan untuk mengurangi dampak lingkungan. Selain itu masyarakat juga diuntungkan karena punya benefit dari energi yang dihasilkan.

Sedangkan untuk sampah cair, Pemprov DKI kini juga tengah menyiapkan program penanganannya. Ini adalah kelanjutan dari program pengolahan limbah cair di Setiabudi dan Kuningan yang pernah diterapkan beberapa tahun lalu. Program yang dananya mendapat bantuan dari pemerintah Jepang ini akan membuat sistem penanganan limbah cair secara terintegrasi, sehingga mengurangi dampak pencemaran terhadap lingkungan.

Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta, Muhammad Taufik mengatakan, masalah sampah memang sengaja diangkat dalam acara diskusi ini. Sebab partainya itu peduli dengan masalah lingkungan khususnya sampah. Dengan volume sampah di DKI Jakarta yang setiap harinya mencapai 6.500 ton, tentu berdampak bagi lingkungan. "Melalui diskusi ini, nantinya diharapkan didapat sebuah hal bermanfaat," katanya.

Taufik juga mengajak seluruh masyarakat mendukung program penanganan sampah. Karena masalah sampah memang bukan hanya menjadi masalah pemerintah semata, melainkan juga masalah seluruh masayarakat. "Kita mengajak seluruh masyarakat menyelesaiakan permasalahan sampah ini secara bersama-sama," pungkasnya.

RTRWP Kalteng Segera Selesai

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyatakan segera menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalteng. Penyelesaian RTRWP Kalteng lebih cepat, lebih baik.

Pernyataan tersebut diungkapkan Menhut pada saat menerima Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang bersama rombongannya di Kantor Kementerian Kehutanan RI di Jakarta, Jumat (5/3).

Pertemuan Gubernur Kalteng dengan Menhut, antara lain membicarakan masalah rekomendasi atas permohonan Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Pertambangan (IPPKH) dan Ijin Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan (IPKH).

Mengenai RTRWP, sebagaimana diketahui telah masuk dalam program kerja 100 SBY. Masalah RTRWP Kalteng ini telah dilaporkan Gubernur Kalteng kepada Presiden SBY pada pertemuan Gubernur se-Indonesia (Rakernas APPSI) di Palangka Raya, Desember 2009, dan disampaikan kembali oleh Gubernur pada Rakor di Cipanas, 3-4 Februari 2010.

Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang, menurut Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol Pemrov Kalteng Kardinal Tarung, sangat merespon positif hasil pertemuan dengan Menteri Kehutanan itu.

Teras mengharapkan segera selesai sesuai dengan konsepakatan awal bahwa pemerintah menargetkan penuntasan RTRWP Kalteng dalam 100 hari program kerja Kabinet Indonesia Baru II.

Teras mengaku, proses keabsahan RTRWP Kalteng memerlukan perjuangan panjang, “Meski demikian, bukan berarti upaya ini akan terhenti,” kata Teras.

Teras tetap bertekad menyelesaikan RTRWP Kalteng guna memastikan status hukum ratusan rekomendasi yang telah dikeluarkan, bidang perkebunan maupun pertambangan.

Kardinal juga mengemukakan, dalam pertemuan itu Menhut telah menyampaikan hal-hal yang menjadi kewenangannya.

Sementara untuk setiap rekomendasi dari Bupati/Walikota atau Gubernur tentang permohonan IPPKH dan PKH, terlebih dahulu akan dilakukan check lapangan.

Saat ini di Kalteng, pemohon ijin pinjam pakai kawasan hutan untuk tambang (IPPKH) sebanyak 200 buah dan PKH untuk perkebunan sebanyak 14 buah.

Menurut Kardinal, dalam pertemuan Menteri Kehutanan didampingi Dirjen Planalogi, sementara Gubernur didampingi Kadishut Anung Setyadi, Kadisbun Erman P Ranan, Kadistamben Yulian Taruna, Karo Ekonomi, dan Karo Hukum.

Usai acara di Kementerian Kehutanan, dilanjutkan pertemuan Gubernur dengan pengusaha terkait rencana pembangunan pembangkit listrik sebesar 2x100 MW di Kalteng.

Perizinan Perusahaan di Kalteng Diteliti

PALANGKARAYA, KOMPAS.com - Kementerian Kehutanan membentuk tim untuk meneliti perizinan di Kalteng. Tim tersebut akan datang ke Kalteng dalam waktu dekat untuk meneliti perusahaan pertambangan maupun perkebunan terkait kepatuhan perizinan terhadap pemanfaatan kawasan hutan.

Sesuai ketentuan, tiap perusahaan pertambangan yang arealnya masuk kawasan hutan maka harus mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan. Sedangkan untuk perusahaan perkebunan yang arealnya memasuki kawasan hutan maka harus mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan.

Gubernur Agustin Teras Narang, Senin (8/3/2010) mengatakan, tim tersebut akan menginventarisasi perusahaan mana saja yang sudah operasional dan mengantongi izin pinjam pakai maupun pelepasan kawasan hutan. Namun jika ada perusahaan yang sudah beroperasi tapi tidak memiliki izin pinjam pakai dan pelepasan kawasan hutan, maka tim akan mempertanyakan kepada bupati setempat.

Turunnya tim sendiri merupakan tindak lanjut dari pertemuan Gubernur Agustin Teras Narang dan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan akhir pekan lalu. Sebelumnya gubernur menandatangani sejumlah usulan permohonan izin pinjam pakai dan pelepasan kawasan hutan untuk diteruskan ke Kementerian Kehutanan.

Polda Kalteng Tutup Paksa Area Tambang

Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Tengah, Kamis (11/2), menutup paksa area tambang batu bara PT SPG seluas 400 hektare di Kabupaten Barito Utara karena diduga melakukan operasi secara ilegal di kawasan yang belum ada izin pelepasan kawasan dari Menteri Kehutanan (Menhut).

Hal itu diungkapkan oleh Direskrim Polda Kalteng Kombes Kliment Dwi Koryanto kepada wartawan, Kamis (11/2), di Palangkaraya. Menurut Dwi, dirinya sudah memerintahkan untuk menutup kawasan tambang tersebut untuk tidak beroperasi kembali di kawasan yang belum ada izin pinjam pakai kawasan dari Menhut atau belum ada izin pelepasannya.

"Hari ini, kami sudah menutup kawasan itu dengan garis polisi (police line) pada areal itu dan menyita peralatan di kawasan tambang yang sedang melakukan operasi untuk berhenti. Kami juga telah menetapkan tersangka HM sebagai pemilik perusahaan dari Provinsi Kalsel," ujarnya.

Namun, untuk saat ini, pihaknya belum melakukan penahanan terhadap tersangka. Pihaknya akan melakukan koordinasi dengan Departemen Kehutanan dulu. "Apa yang kami lakukan ini merupakan tindak lanjut untuk menyingkapi pernyataan dari Menhut tentang perizinan kuasa pertambangan dengan menurunkan tim kelapangan empat hari lalu, Senin (8/2). Dan kami menemukan perusahaan yang melakukan penambangan yang tidak mempunyai izin pelepasan kawasan," ujarnya.

Pihaknya akan terus melakukan pemeriksaan kawasan tambang pada seluruh kabupaten/kota di Kalteng. "Saya mengimbau kepada semua pemilik kawasan pertambangan untuk tidak melakukan penambangan apabila belum memiliki izin pelepasan kawasan," media indonesia.

Konversi Hutan Rugikan Negara Ratusan Miliar

Lembaga masyarakat Save Our Borneo (SOB) Kalteng menemukan dugaan pembatatan hutan untuk areal perkebunan kelapa sawit oleh tiga perusahaan besar swasta (PBS) wilayah Kapuas.Tiga perusahaan itu, PT Wana Catur Jaya Utama (BW Platation Group), PT Kapuas Maju Jaya dan PT Dwie Warna Karya ( kedua nya milik Group Asiatic Sdn Bhd Malaysia).

Aktivitas konversi kawasan- kawasan hutan yang di lakukan tiga PBS kelapa sawit tersebut berpotensi merugikan keuangan Negara mencapai ratusan miliar rupiah. Dalam rilis nya yang diterima Tabengan, Senin ( 15/2), Direktus Eksekutif SOB Nordin menjelaskan, Bupati Kapuas telah mengeluarkan izin lokasi untuk PT WCJU sekitar 12.500 hektar , PT KMJ dan PT DWK masing-masing sekitar 17.500 hektar .

Sebelum melakukan pembukaan lahan perkebunan ke tiga PBS itu harus mengantongi izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Ke Hutanan berupa izin pemen faatan kayu (IPK) mengingat di atas areal mereka terdapat potensi kayu komersial berbagai jenis, seperti meranti ,kruing, kampas, dan ulin. Namun, di lapangan justru ketiga PBS telah membabat bersih kawasan hutan (land clearing)3 per hektar. Itulah sebab nya, ketiga PBS ini menimbun, mebuang, dan menghancurkan kayu-kayu hasil tebangan nya untuk menghilangkan barang bukti. Selain itu lokasi ketiga PBS tumpang tindih dengan eks HPH PT Dahian Timber dan PT Kayu Mas Ratu. dengan perkiraan kayu yang di hasilkan mencapai 25 m

SOB memperkirakan kerugian Negara akibat pembabatan hutan tanpa pemenfaatan potensi kayu di atas nya ini mencapai ratuan miliar dari dana reboisasi (DR) dan provisi sumber daya hutan (PSDH) yang tidak terpungut. Penghitungan nya kata Nordin, dapat dikalkulasi secara sederhana. Jika di asumsikan 25 m3 per hektar, maka potensi kayu yang terbuang percuma mencapai 500.000m3 . pendapatan Negara yang hilang setidak nya dari PSDH sebesar 500.000 x Rp 125.000 dan pungutan DR sebesar 500.000 x 16 dolar AS Hasil nya , PBSH mencapai 62,5 miliar dan DR 8 juta dolar AS atau sekitar Rp 76 miliar. Sehingga , dari potensi kayu satu PBS saja, Negara kehilangan pendapatan dalam kisaran Rp 138,5 miliar.

Luar biasa, dan ini hanya dari potensi kayu yang hilang karena di pendam, di bakar, dibuang, di tumpuk di curi atau di pakai secara geratis oleh PBS untuk perumahan, jembatan, dan keperluaan lain , kata Nordin. SOB mengharapkan pemerintah pusat, pemerintah daerah setempat, maupun aparat penegak hukum mengambil tindakan tegas dengan segera menghentikan aktivitas ke tiga PBS ini untuk mengurangi potensi kerugian Negara.

Menurut Nordin, upaya pemerintah merehabilitasi lahan kritis melalui program one man one tree akan sia-sia jika aksi pembabatan hutan secara illegal tidak segera di hentikan. Langkah tegas pemerintah sangat diperlukan tidak terkesan sengaja membiarkan tidakan merugikan keuangan Negara. Dalam upaya membendung deforestasi koruptif SOB bekerja sama dengan Koalisi Anti Mafia Kehutanan, Indonesia Corruption Watch (ICW), Silvagama, Wahana Lingkungan Hidup, Indonesia (WALHI), jaringan penyelamatan hutan Riau (Jikalahari), dan Forest Watch Indonesia (FWI). Mitra lain nya juga terlibat langsung untuk memantau dan melaporkan kejahatan ke hutanan ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). tabengan

WALHI Kritisi PP Alih Fungsi Hutan

Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2010 tetang alih fungsi dan pinjam pakai kawasan hutan disebut sebagai biang kerusakan hutan lindung. Sebab, pejabat daerah bakal berlomba-lomba mengeluarkan ijin dalam kawasan hutan.

Hal itu disampaikan Officer Monitoring Kasus WALHI, M Islah. Menurutnya, WALHI melihat arah kebijakan pejabat Mentri Kehutanan dulu dan sekarang sama saja, yakni dengan membuat pelepasan kawasan hutan secara membabi buta.

“Pemerintah baru mengeluarkan bulan Januari kemarin, PP Nomor 10 Tahun 2010, begitu kebijakan itu dikeluarkan pejabat daerah membuat rekomendasi untuk ratusan ijin pinjam pakai untuk kawasan hutan termasuk hutan lindung,” kata Islah di Kantor Pusat WALHI, Jalan Tegal Parang Utara, Jakarta, Jumat (19/2).

Ditandaskannya, jangan sampai ijin yang dikeluarkan pemerintah membuat rakyat menderita. Islah memisalkan ijin HGU, HPH dan pertambangan, rata-rata menimbulkan konflik di tengah masyarakat karena banyak perusahaan mengambil lahan masyarakat.

Artinya, lanjut Islah, perlu dilakukan pengecekan terhadap seluruh ijin yang dikeluarkan apakah menyalahi aturan. Islah menambahkan, eksploitasi sumber daya alam (SDA) secara berlebihan akan membuat kerusakan dan menimbulkan bencana alam. Bila itu terjadi, biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk melakukan perbaikan sangat besar dan berlipat-lipat.

Sementara terkait tindak lanjut atas laporan praktek mafia kehutanan, Islah menyatakan bahwa pihaknya telah membuat surat susulan ke KPK terkait korupsi kehutanan, terutama di Riau. Namun untuk daerah lain seperti Kalimantan, WALHI belum melakukan tindak lanjut serupa. “Kita menindak lanjuti dengan laporan baru, kita minta mantan Menhut diperiksa dan ditangkap,”

Ditolak, Kebun Sawit Dikategorikan Hutan

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menolak kebun sawit ditetapkan masuk dalam kategori definisi hutan, seperti tercantum di materi Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Menteri Kehutanan. Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA Idham Arsyad mengatakan, dengan materi seperti itu menunjukkan tidak adanya perubahan paradigma pengelolaan kehutanan di Indonesia.

"Hutan masih saja diprioritaskan kepada investor skala besar ketimbang diperuntukkan kepada rakyat untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan bagi peningkatan kesejahteraan mereka," ujar Idham Arsyad dalam keterangan persnya kepada JPNN, Kamis (25/2).

Dijelaskan Idham, dalam RPM tersebut, Kemenhut menyiapkan izin membuka perkebunan kelapa sawit di areal hutan yang akan berlaku untuk izin investasi baru. Pola izin yang akan dipakai sama dengan pola Hutan Tanaman Industri (HTI). Rencananya, RPM ini akan mengatur komposisi HTI Sawit tersebut dalam system zonasi yaitu 70% tanaman pokok, 25% tanaman kehidupan, dan 5% tanaman pangan.

Menurut Idham, pengelolaan hutan di era sekarang belum ada bedanya dengan rezim Orde Baru. Pada masa awal Orde Baru, lanjutnya, hutan alam diperuntukkan pada investor kehutanan untuk menebang kayu-kayu alam melalui izin HPH. "Saat ini, sedikitnya terdapat 267 Unit perusahaan yang memperoleh HPH dengan luas areal ± 27.797.463 Ha. Setelah hutan alam semakin menipis dan habis dibabat, areal eks HPH diperuntukkan bagi investor skala besar dengan skema HTI (Hutan Tanaman Industri)," ungkapnya.

Dia membeberkan data, sampai dengan tahun 2007 pembangunan HTI di Indonesia telah mencapai 254 unit usaha dengan luas 3,57 juta hektar. Selain itu, tahun 2004 kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk dijadikan areal perkebunan seluas 4,682 juta hektar kepada 503 unit usaha yang hampir seluruhnya dipergunakan sebagai areal perkebunan sawit (Badan Planologi Kehutanan: 2004). Dari skema zonasi yang ditawarkan RPM sangat jelas bahwa pola pembangunan hutan semacam ini hanya bertujuan mendudukkan rakyat banyak sebagai tenaga kerja murah semata.

Lebih lanjut dijelaskan, selama ini, UU Kehutanan telah secara sepihak menetapkan sebuah wilayah sebagai tkawasan hutan secara sepihak. Sehingga, banyak terdapat konflik masyarakat dengan kementerian kehutanan. Dengan RPM ini, lanjutnya, akan semakin menutup akses rakyat secara bermartabat di wilayah yang selama ini ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh Kemenhut dan akan ditawarkan kepada investor sawit.

Idham mengatakan, hilangnya akses rakyat kepada hutan selama ini telah menjadikan kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan menjadi kantong pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sebab, banyak kawasan tersebut sejatinya adalah kawasan yang dimiliki dan dikelola secara arif oleh petani, masyarakat adat secara turun temurun. Penetapan tersebut telah menyebabkan petani dan masyarakat kehilangan hak atas wilayah kelola mereka dan penawaran wilayah-wilayah ini kepada investor telah meminggirkan hak ekonomi, sosial budaya mereka secara sistematis.

"Dengan diterbitkan RPM ini akan semakin menungkatkan konflik agraria di kawasan kehutanan," tegasnya. Tahun 2009 lalu, KPA telah merekam 89 laporan kasus konflik agraria baru yang berada di kawasan kehutanan dan perkebunan dengan luas sengketa 133.278,79 Ha dan korban langsung dari sengketa ini tidak kurang dari 7.585 KK.

Menurut KPA, RPM ini akan semakin mempercepat laju kerusakan hutan. Menetapkan sawit sebagai tanaman hutan memang akan menolong kementerian kehutanan. Setidaknya, perdefinisi, kawasan hutan masih tetap dan tidak dikonversi menjadi areal kehutanan. Namun, lanjutnya, akan mendorong kenyataan menyedihkan bahwa kawasan yang disebut sebagai kawasan hutan tidak lain adalah perkebunan sawit. "Ini tidak lain adalah perilaku menipu diri sendiri atas fakta perubahan landscape kehutanan yang selama ini terus terjadi. Dan, perubahan tersebut telah menyebabkan kerusakan alam yang mengancam ekosistem secara keseluruhan yang merugikan rakyat banyak," pungkasnya.

Selasa, 09 Maret 2010

KALTENG AJUKAN 242 REKOMENDASI PELEPASAN KAWASAN HUTAN

REKOMENDASI PELEPASAN KAWASAN HUTAN


Palangkaraya, 18/2 (Antara/FINROLL News) - Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah segera mengajukan 242 rekomendasi izin pinjam pakai dan alih fungsi kawasan hutan di wilayah itu untuk kegiatan pertambangan dan perkebunan yang sudah dan siap operasional.
"Semua rekomendasi itu sudah saya tandatangani dan tinggal pengajuan ke Kementerian Kehutanan untuk dimintakan persetujuan," kata Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang, di Palangkaraya, Kamis.
Secara rinci, dari 242 rekomendasi izin pemanfaatan kawasan hutan yang segera diajukan itu terdiri atas 77 rekomendasi izin alih fungsi (pelepasan) kawasan hutan untuk perusahaan perkebunan khususnya kelapa sawit. Sementara 165 rekomendasi lain dikeluarkan untuk perusahaan pertambangan yang mengajukan izin pinjam pakai kawasan hutan. Sebagian besar untuk tambang batu bara, biji besi, dan zirkon yang akan beroperasi di dalam hutan.
Teras menegaskan, pengajuan ratusan rekomendasi itu telah memenuhi syarat teknis dan adminsitrasi sesuai peraturan, termasuk data pembanding antara peta tata guna hutan kesepakatan (TGHK) dan Perda Nomor 8 Tahun 2003 tentang RTRWP Kalteng.
Rekomendasi izin yang baru, kata Teras, diterbitkan dengan masa berlaku satu tahun dan masa perpanjangan enam bulan. Selama ini untuk memproses pelepasan kawasan hutan tidak cukup diselesaikan dalam masa enam bulan.
"Rekomendasi yang lalu itu berlaku hanya setengah tahun, sementara menurut informasi jangka waktu enam bulan itu tidak cukup untuk menyelesaikan di Kementerian Kehutanan, sehingga nanti berulangkali minta diperpanjang ke daerah," kata Teras.
Teras tidak merinci luasan kawasan yang diajukan untuk pelepasan maupun pinjam pakai dari ratusan rekomendasi itu, namun umumnya satu perusahaan perkebunan mengantongi izin lokasi untuk sekitar 5.000 hingga 20.000 hektare kawasan hutan.
Gubernur mengungkapkan, selama waktu 18 bulan, pemerintah daerah akan terus memonitor perkembangan di Kementerian Kehutanan hingga izin pelepasan maupun pinjam pakai diterbitkan.
Monitoring akan dilakukan oleh tim bentukan pemda, yang tugasnya memantau proses izin di Kemenhut, yakni terkait kekurangan persyaratan yang diajukan perusahaan.
Teras menegaskan, berdasarkan aturan baru, untuk memperoleh pengajuan dan permohonan rekomendasi dari gubernur, surat pengajuan rekomendasi harus ditandatangani direktur utama perusahaan atau direktur utama sesuai akte pendirian.
Selain itu, selama proses pemberian izin di Kemenhut berlangsung, perusahaan dilarang untuk memberi atau memindahtangankan izin tersebut ke pihak lain dalam bentuk apapun.
"Itu kami lakukan untuk melindungi kita semuanya. Sebelum terbitnya izin dari Menhut, perusahaan dilarang berbuat apapun di lokasi dan bupati atau wali kota wajib hukumnya melakukan pengawasan," jelas Gubernur.
Teras meminta investor yang mengajukan rekomendasi tersebut serius dalam bidang usahanya dan mempunyai keinginan untuk memajukan Kalteng bersama pemerintah.
Dia mengancam akan mencabut rekomendasi yang telah dikeluarkan meski rekomendasi tersebut sudah berada di Kemenhut, jika investor melakukan hal yang bertentangan dalam surat edaran tersebut.
Untuk memperlancar proses pemberian izin dari Kemenhut tersebut, dirinya berencana menemui Menhut Zulkifli Hasan bersama asosiasi pengusaha perkebunan dan pertambangan di daerah itu untuk meminta kejelasan dan kepastian hukum.

Teras Melunak Soal Kawasan Hutan

Teras Melunak Soal Kawasan Hutan

Cukup lama menolak merekomendasikan permohonan izin pelepasan dan pijam pakai kawasan hutan yang diajukan perusahaan perkebunan dan pertambangan, Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang akhirnya melunak.
Selain merestui permohonan izin pelepasa dan pinjam pakai kawasan hutan Kalteng, Teras bahkan berjanji akan terus memantau perkembangannya di Kementerian Kehutanan. Kabar baik bagi kalangan investor Kalteng itu disampaikan Teras, di aula Jayang Tingang Kantor Gubernur Kalteng, saat bertemu dengan ratusan pengusaha dari berbagai sektor.
Disektor perkebunan, sampai hari ini ada 77 permohonan rekomendasi pelepasan kawasan hutan dari gubernur. Meliputi 51 berkas dalam proses, 12 berkas dikembalikan, dan 14 berkas sudah disetujui gubernur. Selain itu terdapat 14 berkas sudah diajukan ke Kementerian Kehutanan, namun belum satupun yang disetujui.
Kemudian di sektor pertambangan, hingga Januari lalu tercatat sembilan perusahaan memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan untuk ekspolitasi produksi, 12 perusahaan miliki izin prinsip pinjam pakai untuk ekspolitasi produksi, serta tujuh izin pinjam pakai untuk eksplorasi.
Sedangkan perusahaan yang sedang memproses izin pinjam pakai kawasan hutan yaitu sebanyak 112 perusahaan.
Selain menandatangani rekomendasi tersebut, Teras juga memperpanjang masa rekomendasi yaitu dari enam bulan menjadi satu tahun. Jika selama itu izin pinjam pakai juga belum disetujui Kementerian Kehutanan, rekomendasi dari gubernur bisa diperpanjang selama enam bulan.
"Perpanjangan itu supaya pengusaha tidak repot mengurus rekomendasi. Tapi semua harus diurus dengan baik sehingga izinnya cepat keluar dari Kementerian Kehutanan. Pasalnya jika sampai satu setengah tahun tidak selesai, saya tidak memberikan rekomendasi lagi," tegas Teras.
Kebijakan baru Teras soal rekomendasi izin pelepasan dan pinjam pakai kawasan hutan itu disambut gembira para pengusaha. Selanjutnya mereka berharap permohonan tersebut terus diperjuangkan dan disetujui oleh Kementerian Kehutanan, sehingga tidak berlarutlarut.
Beberapa investor tambang batu bara Barito Utara (Barut) mengatakan, berlarutnya masalah izin pelepasan dan pinjam pakai kawasan hutan di Kalteng dikarenakan belum rampungnya Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalteng.
Kalangan investor berharap Pemerintah Provinsi Kalteng terus mendesak pemerintah pusat agar RTRWP Kalteng segera rampung

Kecewa Penanganan Kasus DAK – DR Lambat

Kecewa Penanganan Kasus DAK – DR Lambat

Sudah lama tak terdengar penyelidikan kasus dugaan korupsi dana DAK DR Kotim,status dari para pihak yang terlibat pun tidak diketahui dengan jelas perkembangan nya. Ketua LSM Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kotim Ruspandi,sebagai pihak yang melaporkan kasus tersebut kembali mendesak aparat penegak hukum untuk mengungkap pelaku utama dari perkara tersebut.,karena Negara telah dirugikan hampir Rp.4 milyar.
“Kami melihat proses hukum kasus dugaan korupsi dana DAK DR kotim berjalan lambat dan sejauh ini pelaku utama tidak tersentuh padahal mereka yang harus bertanggung jawab”,timpal Ruspandi.
Menurut dia penetapan status tersangka terhadap mantan pejabat dan pejabat yang masih aktif di Dinas Kehutanan belum menjawab penyelesaian ,karena para pejabat tersebut bukan pelaku utama dari kasus tersebut .”Menurut kami Bupati Kotim dan PT Suka Jadi Sawit Mekar harus bertanggung jawab,karena kedua pihak tersebutlah yang telah menyebabkan kerugian Negara,tetapi sejauh ini kedua pihak tersebut tidak pernah disentuh. Dalam laporan kami jelas sekali pihak –pihak yang diduga terlibat ini “ paparnya”.
Untuk memantapkan laporan terhadap kasus tersebut ,Ruspandi mengaku sudah menyampaikan bahan lagi kepada Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) karena menggangap kasus tersebut serius,dirinya telah menyampaikan setangan dengan pihak KPK. ‘ harapan kami selain kasus ini tuntas dan tidak ada lagi pihak yang kebal hukum.
Kami juga berharap yang bukan pelaku yang menjadi korban,sementara yang lain nya ingin cuci tangan “.imbuhnya.
Ruspandi menjelaskan Kronologis munculnya kasus dugaan korupsi DAK DR tahun anggaran 2001 dan pelaksanaannya tahun 2004 dan 2005 seluas kurang lebih 840 hektar di desa Kenyala, kecamatan Talawang (dulunya Kota Besi) dengan biaya sebesar Rp.
3.257.676.000, - dan anggaran untuk pemeliharaan tanaman reboisasi Rp.662.280.000.-
Dalam lokasi tersebut pada tahun 2005 muncul PT.Suka Jadi Sawit Mekar (SSM) yang mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) nomor 35/HGU/BPN/2005. di wilayah kecamatan yang sama seluas lebih kurang 12.386.27 hektar. Ijin yang di keluarkan bupati Kotim tersebut justru berada di lokasi yang sudah menjadi lahan reboisasi dan pada 2006 PT.SSM melakukan perambahan terhadap lokasi yang ada untuk dijadikan lahan sawit.
Berdasarkan data yang didapat PPSDM,upaya untuk menghentikan langkah PT.SSM telah dilakukan dinas Kehutanan setempat dengan menyurati bupati Kotim pertanggal 8 Mei 2006 agar pembukaan lahan PT.SSM di hentikan untuk sementara untuk menyelesaikan masalah.
Pada saat PT.SSM ini melakukan pembukaan lahan dengan memusnahkan tanaman reboisasi,bupati Kotim belum mengambil tindakan untuk menghentikan PT SSM dari kegiatan nya.
Kami berharap bupati bertindak pada saat itu, karena lokasi berada dalam lokasi yang sudah ada tanaman reboisasi.
Makanya tidak salah bila kedua pihak ini menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam kasus yang kami laporkan “

Warga Kapuas Ancam Tutup Lahan PT Globalindo

Warga Kapuas Ancam Tutup Lahan PT Globalindo
Pebruari 2010
Kuala Kapuas, Kalteng (ANTARA News) - Warga Desa Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (Kalteng), mengancam akan menutup aktivitas perkebunan sawit PT Globalindo Agro Lestari (GAL) yang diduga telah mencaplok lahan milik warga.

"Jika dalam kurun waktu tiga hari kedepan tidak ada kesepakatan tentang ganti rugi, maka kami akan menutup lahan kami dari segala aktivitas PT. GAL," kata Dagu, seorang perwakilan warga Dadahup, Kecamatan Kapuas Murung, saat berdialog dengan DPRD Kapuas, di Kuala Kapuas, Senin.

Upaya untuk menutup lahan milik warga tersebut disampaikan sejumlah warga Dadahup pada rapat antara Komisi I dan Komisi II DPRD Kapuas dengan PT GAL, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kapuas serta sejumlah tokoh masyarakat.

Dagu mengatakan lahan perkebunan yang rencananya akan ditutup merupakan lahan milik warga yang berada di lima sungai yakni Sungai Simpang Kaliwang, Siku, Bolan, Barania dan Sungai Lunai.

Sejak Juli 2009 sampai sekarang ini, pihaknya sudah melakukan pertemuan sebanyak 15 kali dengan pihak perusahaan, namun belum juga ada titik temu.

Usai pertemuan, pihak perusahaan sendiri mengaku sampai sejauh ini tetap bersedia akan membayar ganti rugi apabila sudah ada kesepakatan bersama yang jelas dengan warga.

"Kalau sudah ada kesepakatan sesuai dengan aspek hukum, kami tetap akan mengganti rugi lahan warga yang masuk dalam areal perkebunan kami," kata Karel, salah satu perwakilan dari PT. GAL.

Dikatakan Karel, pihaknya tidak berani bertindak gegabah untuk menghindari kemungkinan adanya klaim dari pihak lain yang mengaku juga sebagai pemilik lahan.

Ia mengungkapkan bahwa lahan yang dipermasalahan tersebut beberapa waktu sudah dibayar ganti ruginya dengan total Rp500 juta yang prosesnya melibatkan kepala adat, kepala desa, Muspika, serta camat setempat.

Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kapuas, Andarias Lempang mengatakan bahwa pihaknya berkeinginan permasalahan ini dapat segera selesai.

"Karena kalau ini berlarut-larut maka akan berdampak terhadap perusahaan karena tidak dapat bekerja maksimal dan ekonomi masyarakat sekitar tidak dapat meningkat," katanya.

Sementara itu, Darwandie, Wakil Ketua Komisi II DPRD Kapuas yang bertindak memimpin rapat pada saat itu mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan investigasi ke lapangan terlebih dahulu.

"Kami akan menyurati pimpinan DPRD untuk dapat membentuk tim investigasi guna mengumpulkan informasi terkait permasalahan ini," kata Darwandie. (K-RA/A038). antara.

“Kemaruk Obral Ijin Alih Fungsi Hutan”

“Kemaruk Obral Ijin Alih Fungsi Hutan”


Oleh: Nordin

Keluar nya ratusan rekomedasi dan ijin pinjam pakai kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit menunjukan sikap ke maruk para pemimpin daerah dalam mengobral kawasan hutan secara murah kepada Investor. Obral murah ini tidak lepas dari sinyelemen (kalaupun tidak mau di katakan prustasi ) pengola secara hutan adil dan lestari yang berhasil guna untuk rakyat kebanyakan, karena di berikan ke pada Investor, baik nasional maupun asing . Patut diduga juga bahwa obral ijin ini di jadikan sebagai “ATM” bagi kepentingan pribadi atau golongan maupun kelompok penguasa dan memegang otoritas perijinan .

Upaya saling dukung sangat terlihat dengan di biarkan nya aktivitas illegal berupa pembabatan dan pembukaan hutan oleh pengembang, sekalipun dalam kondisi belum memiliki ijin sesuai ketentuan. Pemerintah dan aparat hukum terkesan tutup mata dan dan tidak perduli menganggap pembabatan dan pembukaan kawasan hutan seolah bukan kejahatan, pedahal jelas – jelas sebagai kejahatan skandal memalukan. Untuk menutupi sikap kemaruk nya pemerintah seolah – olah peduli dengan upaya penenggulangan deforestasi, melalui proyek awang-awang REDD karbon trade dan semacam nya. Sementara disisilain ratusan ribu hektar hutan dan ratusan dan juta batang pohon di biarkan dibabat secara illegal tanpa disentuh hukum, padahal tidak kurang informasi dan laporan yang di sampaikan rakyat.

Kerapkali Perkebunan Besar Swasta ( PBS ) kelapa sawit juga terpaksa dengan ketar ketir harus membuka kawasan hutan meskipun perusahaan mengetahui pembukaan hutan tanpa ijin Hak Guna Usaha (HGU) dari BPN dan ijin pelepasan kawasan hutan dari mentri ke hutanan adalah pelanggaran sebab pemda mengancam mencabut ijin lokasi yang diberikan apabila lahan belum juga di buka. Di Kecamatan Kapuas Tengah jajaran Dirjen pengukuhan dan penatagunaan kawasan hutan pernah melakukan pemantauwan dan menemukan pembukaan areal perkebunan kelapa sawit yang di lakukan enam PBS tanpa ijin pelepasan kawasan hutan dari Menhut . Dari enam perusahaan perkebunan tersebut tiga di antara nya sudah melaksanakan penanaman yakni PT. Wana Catur Jaya Utama (WCJU), PT.Kalimantan Ria Sejahtera (KRS), dam PT. Kapuas Maju Jaya(KMJ). Penegasan gubernur Kalimantan Tengah , Agustin Teras Narang SH yang melarang perusahaan perkebunan melakukan kegiatan di lapangan sebelum ada SK pelepasan kawasan hutan dan pinjam pakai kawasan hutan dari Mentri Kehutanan terbit. Kepada Bupati Walikota se- Kalteng melalui surat edaran nomor 540/735/Ek, perihal pengawasan terhadap perusahaan pertambangan dan perkebunan tanggal 13 juni 2009 terkesan di lecehkan dan hanya menjadi isi keranjang sampah saja .

Disamping dilecehkan disisi lain juga penegasan itu hanya mencari kertas saja tanpa tanpa dibarengi dengan tindakan dan upaya serius di mana seolah surat itu semua nya akan menurut dan patuh juga kepada yang melanggar tidak dengan tegas di ambil tindakan oleh gubernur dengan melaporkan kepada aparat hukum atas pembalakan dan menghancurkan tanah dalam yurisdiksi nya.kalau demikian sama saja surat edaran tersebut hanyalah lips service dan normative saja.dalam beberapa media masa gubernur Agustin Teras Narang jela-jelas mengakui telah memberikan rekomendasi kepada 77 PBS sawit yang berada dalam kawasan hutan untuk demikian ijin pelepasannya hal ini menunjukan pertama: Gubernur mengakui bahwa lokasi-lokasi tersebut adalah kawasan hutan, sementara jutaan hertar tanah Kalteng “dikuasi” oleh kementrian kehutanan yang di akui sebagai kawasan hutan yang tercermin dari sikapnya menolak hasil kajian tim terpadu RTRWP. Kedua: Gubernur ambigu dalam mengembangkan konsep – konsep pengurangan emisi dari deforestasi dan degrasi hutan REDD.Fakta nya justru tidak kurang dari 1.5 juta hektar kawasan hutan diberikan rekomendasi menjadi monoculture sawit (asumsi 77 PBS x 20.000 Ha).

Bahwa alasan pengembangan daerah dan tujuan ekonomi memang tidak dapat di kesampingkan tetapi kebijakan ambargu juga membuat rakyat semakain binggung, sebagai konsumsi politik bagi public barang kali ini sangat cerdas tapi dalam kaitan konsestensi sikap hal ini membuat upaya- upaya pengelolaan kawasan dan hutan yang sustainable secara ekologi dan secara ekonomi semakin membingungkan. Penulis tanpa maksut mengatakan bahwa REDD adalah dewa penyelamat untuk ekologi dan ekonomi namun setidak nya kalaupun mau menyelamatkan ekonomi ( dalam jangka panjang ) dan ekologi (dalam artian keselamatan rakyat dari bencana ekologi dan kehilangan akses atas alat produksi berupa tanah ) maka obral lahan untuk investor adalah kurang tepat. Dalam kesempatan beberapa tahun lalu penulis pernah mengatakan bahwa pada saat nya rakyat akan menjadi kaum landless dan investor ( yang tidak kurang 30% nya adalah modal asing) akan menguasai tanah kita dan akan menjadi majikan bagi pribumi ditanah nya sediri.

Siapaun tahu bahwa tanah dan lahan adalah alat produksi utama yang tidak pernah ada biaya penyusutan nya (depresiation expances), oleh karena jadikanlah tabungan (land bank) bagi Negara , rakyat, dan daerah, bukan nya menjadi tabungan bagi hanya segelintir pemilik modal yang penyebabkan rakyat menjadi utus jipen. Dalam jangka panjang pembangunan dan rakyat niscaya membutuhkan tanah namaun selaras dengan itu tanah sudah dikuasi oleh pemodal dengan HGU-nya yang bias berumur mencapai 95 tahun. Akibatnya penggunaan akan semakin menelan biaya tinggi karena harus berurusan dengan kapital yang sudah menguasai, hal ini berimplikasi pada ekonomi biaya tinggi bagi rakyat sementara alat produksi rakyat berupa lahan dan tanah semakain menyempit yang di barengi dengan kemampuan produksi pangan secara mendiri semakin menurun. Dapak susulan nya adalah kemiskinan dan kebodohan sembari menerima derita akibat bencana ekologis beruntun.

Akhirnya, penulis ingin menyapaikan saran agar sebaik nya acara obral murah dan sipat kemaruk terhadap modal dan dengan memberikan kemudahan dan dukungan super ( bahkan tutup mata atas pelanggaran ) kaum pemodal segera di kalkulasi ulang. Dalam jangka pendek untuk monumental barang kali hal ini akan terlihat “wah” tapi dalam jangka panjang 20 atau 50 tahun lagi akan kah kita akan bias melihat merah putih dikebun-kebun sawit yang secara de facto dikuasi oleh modal asing (*)

Penulis adalah Direktur Eksekutif Save Our Borneo dan Dewan Nasional WALHI

Pemkab Kapuas telah Beri Peringatan

Pemkab Kapuas telah Beri Peringatan


KAPUAS – Dugaan perambatan kawasan hutan yang di lontarkan oleh Save Our Borneo ke pada tiga perusahaan perkebunan besar sawit yakni PT WCJU, PT DWK dan PT KMJ dan tak ditampik oleh pemerintah Kabupaten Kapuas mengaku telah memberikan peringatan kepada tiga perusahaan itu. Bapak Bupati Kapuas telah melayangkan surat peringatan ke pada perusahaan itu sesuai dengan surat edaran Gubernur Kalteng. Namun kami juga mendorong pihak perusahaan untuk mengajukan proses perizinan sesuai dengan prosedur yang ada kata Kepala Dinas kehutanan dan perkebunan Kapuas Andreas Lempang melalui telepon kepada Kalteng Pos, Selasa (16/2).
Bahkan menurut Andreas saat ini Polda Kalteng instansi terkait juga tengah melakukan penyelidikan, kalau memang ada di temukan terbukti ada pelanggaran, ya akan di ambil tindakan, kata tanpa menyebutkan jenis sanksi yang akan di berikan. Andreas mengungkapkan PT DWK, PT KMJ dan PT WCJU telah memulai aktivitas perkebunan sejak dulu. Aktivitas yang di lakukan oleh perusahaan itu sudah ada sejak sebelum masa pemerintahan saat ini, ungkap nya.
Dugaan alih fungsi sekaligus pembabatan hutan untuk perkebunan oleh tiga PBS ini di lontarkan oleh Save Our Borneo (SOB ). Dalam rilis nya SOB menyebut bahwa konversi itu tanpa di dasari legalitas yang memadai seperti izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan. Kami sudah dua kali melakukan monotoring di sekitar Kapuas Tengah. Hasil nya ada indikasi bahwa setidak ada tiga PBS sawit yang sedang melakukan aktivitas pembukaan hutan berpotensi tinggi secara brutal yaitu PT . WCJU, PT. KMJ, dan PT. DWK, ujar Direktur SOB Nordin.
PT. WCJU dengan izin lokasi 12.500 ha, PT. KMJ dan PT. DWK masing – masing sekitar 17.500 ha sampai saat ini di indikasi hanya baru mengantongi izin lokasi dari Bupati Kapuas, tanpa izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan . aneh nya semua nya dapat melanggang mudah untuk melakukan pembuka kawasan hutan secara illegal tanpa ada taguran apa lagi sanksi dari pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah ujar Nordin dalam rilis nya.
Lokasi – lokasi ketiga PBS tersebut dapat di pastikan berada dalam kawasan hutan, karena ke beradaan nya bertumpang tindih dengan eks HPH PT Dahlian Timber dan PT . Kayu Mas Ratu. Sementara sampai saat ini tidak terdapat ada nya izin Pemenfaatan Kayu (IPK) yang beraktivitas sebagai indikasi ada nya izin pelepasan kawasan hutan yang diberikan oleh Kementerian Kehutanan.
Itulah sebab nya ketiga PBS sawit ini menimbun, membuang, dan menghancurkan kayu – kayu yang ada di kosensinya untuk menghilangkn barang bukti. Dan sebagai akibat tidak ada pelepasan kawasan hutan yang kayu nya seyogiyanya di menfaatkan melalui IPK. SOB memperkirakan kerugian Negara akibat dibabat nya hutan tanpa dimenfaatkan potensi hasil diatasnya ini mencapai ratusan miliar rupiah. Dalam pemantauwan yang dilakukan, kawasan hutan yang dibabat setidak nya mempunyai potensi 25 M3 kayu komersial berbagai jenis , meranti, kruing, kempas bahkan ulin.

Menurut perhitungan SOB kerugian Negara dari sebuah PBS dapat dikalkulasi secara sederhana di mana jika diasumsikan 25 M3 per ha dengan luas sebuah PBS rata – rata 20.000 ha, maka potensi kayu nya mencapai 500.000 M3. Pendapat Negara yang hilang setidak nya dari PSDH sebesar 500.000 X Rp. 125 .000 dan pungutan DR sebesar 500.000 X US$ 16 itu semua mencapai Rp.62.5 M (PSDH )dan US$ 8 juta atau sekitar Rp. 76 M. sehingga dari potensi kayu pada sebuah PBS saja kehilangan pendapatan Negara mencapai kisaran Rp. 141.5 M.
Save Our Borneo yang bergabung bersama koalisi Anti Mafia Kehutanan telah dan terus akan melakukan upaya – upaya membendung deforesasi koruptif. SOB bersama ICW, Silvagama, WALHI, Jikalahari, FWI, dan mitra lain nya terus akan memantau dan melaporkan kejahatan kehutanan ini kepada KPK, karena hanya KPK lah yang sampai saat ini masih bias di harapkan, selebih nya meragukan. (art/sma)

Sawit Ancaman Utama Lahan Gambut Kalteng

PALANGKARAYA--Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah (Kalteng) menyatakan jutaan haktare lahan gambut di provinsi itu terancam musnah akibat pembukaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri yang terus meningkat.

"Dari 3,1 juta hektare kawasan gambut, lebih 35 persen di antaranya sudah rusak dan perlu direhabilitasi," kata Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Arie Rompas dalam peringatan "Global day of action on climate" atau hari aksi global untuk isu perubahan iklim, di Palangkaraya, Sabtu.

Penyebab utama kerusakan kawasan gambut di Kalimantan Tengah, kata Arie, dipicu aktivitas pembukaan proyek eks Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektare, serta pembukaan kawasan gambut untuk sawit dan hutan tanam industri (HTI).

Pembukaan gambut untuk sawit dan HTI menjadi ancamaan utama karena merupakan salah satu model ekonomi pertumbuhan mengingat dua sektor usaha itu memproduksi komoditas ekspor utama untuk memenuhi kebutuhan negara maju.

"Padahal akibat kerusakan gambut, Kalimantan Tengah juga menjadi penyumbang pelepasan emisi yang besar akibat kebakaran hutan dan gambut setiap tahun," kata Arie.

Dengan luasnya potensi lahan gambut serta ancaman yang ada, Arie menilai, Kalimantan Tengah merupakan salah satu daerah yang memiliki peran penting dalam mencapai solusi bagi masalah perubahan iklim dengan potensi hutan dan ekosistem gambut yang banyak menyimpan karbon.

Sementara itu, Koordinator "Save Our Borneo" Nordin mendesak pemerintah daerah setempat segera menutup pemberian izin pembukaan perkebunan kelapa sawit di wilayah itu untuk melindungi jutaan hektare areal hutan setempat dari kerusakan yang lebih parah.

"Kecenderungan yang terjadi akhir-akhir ini adalah pembukaan perkebunan sawit begitu banyak menghancurkan hutan tropis dan gambut di Kalteng sehingga harus segera distop sekarang juga," kata Nordin.

Nordin mengemukakan, dalam 10 tahun terakhir diperkirakan sebanyak 1,2 hingga 1,4 juta hektare hutan alam di Kalimantan Tengah dikonversi dalam berbagai kegiatan, terutama untuk perkebunan sawit.

Padahal hutan tropis dan gambut tersebut merupakan kawasan pencegah banjir utama, pengatur tata air, dan penyeimbang keberagaman ekosistem alam di wilayah setempat.

"Selain itu pembangunan perkebunan sawit yang membabat jutaan hektare areal hutan juga mengabaikan hak-hak masyarakat setempat yang sebenarnya memiliki hak ulayat atas tanah sehingga sering terjadi konflik," ujarnya.

Meski kran perizinan distop saat ini juga, ia memperkirakan, dibutuhkan waktu sekitar 50 tahun untuk memulihkan kondisi hutan di Kalteng agar berfungsi sebagaimana mestinya.

Karena itu, bila kebijakan menutup kran perizinan perkebunan sawit diberlakukan, pemerintah juga harus menindaklanjutinya dengan langkah peningkatan rehabilitasi hutan dari kemampuan saat ini yang hanya 50 ribu hektare per tahun.

Nordin menyesalkan kebijakan pemerintah daerah setempat yang selama ini lebih memberikan izin pembukaan perkebunan sawit di wilayah hutan atau yang masih berhutan daripada ke lahan kritis yang ada.

"Bagi pengusaha memang lebih suka membuka lahan sawit di areal hutan karena akan lebih menguntungkan dengan memanfaatkan kayu hasil land clearing untuk jalan, perumahan karyawan, jembatan, dan patok batas tanpa keluar biaya,"

Perkebunan Babat Hutan Jangkang


Perkebunan Babat Hutan Jangkang

SUARAPUBLIC - Perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Kapuas Maju Jaya (KMJ), beroperasi di desa Jangkang, Kecamatan Kapuas Tengah, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (Kalteng), dituding melakukan kegiatan perambahan hutan secara besar-besaran di daerah ini. 

Dikutif dari situs KabarIndonesia.com, PT KMJ tak bisa menunjukan SK Izin Pelepasan Kawasan Hutan dari Menteri Kehutanan sebagai dasar pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit mereka. “Mengenai perizinan silahkan tanya kepada pemberi izin, karena kami sudah berkerja,“ kata Legal Officer PT KMJ, Normawaty Nio SH, MH, menjawab wartawan.

PT KMJ bekerja di kawasan hutan sekitar Sei Kuwab dan Sei Mohon, atau lahan bekas areal HPH PT Kayu Mas Ratu. Luasan hutan yang mereka buka untuk kegiatan penanaman perkebunan kelapa sawit mencapai 10 ribu hektar lebih. 


Kegiatan perusahaan itu dinilai masyarakat setempat telah memusnahkan keanekaragaman hayati dan merusak ekosistim hutan yang ada di daerah itu. PT KMJ juga telah mencemari lingkungan dan menyulitkan masyarakat.

Karena banyak sungai setempat tersumbat arus airnya lantaran ditimbun perusahaan. Air dari sungai itu selama ini digunakan masyarakat untuk minum, memasak, mandi dan mencuci, serta sarana transportasi banyak yang tidak dapat digunakan lagi. 

Menurut warga kegiatan perusahaan itu dimulai sejak Januari 2009. Selain merugikan negara, aktivitas PT KMJ juga dituding merugikan masyarakat setempat karena kayu-kayu yang sudah ditebang dibuang begitu saja, digusur kejurang-jurang, ke sungai-sungai, dan ditimbun dengan tanah. 

Akibat penggundulan hutan setempat masyarakat kesulitan mencari penghasilan disekitarnya, karena rotan, damar, getah Nyato, getah Pantung dan Gaharu menghilang seiring rusaknya lingkungan setempat.

Didaerah itu juga kerab dijumpai masyarakat tambang emas dan intan. Penghasilan dari emas dan intan sudah menjadi usaha turun-temurun masyarakat sekitarnya. Tapi semuanya menghilang seiring gundulnya hutan diwilayah itu.

Masyarakat mengatakan, di daerah Sei Kuwab dan Sei Mohon adalah kawasan hutan produksi bekas HPH PT Kayu Mas Ratu yang masih layak untuk dijadikan kawasan hutan produksi. 

Berdasarkan data potensi hasil orientasi hutan yang mereka miliki, kawasan hutan tersebut masih berpotensi, yaitu dengan jumlah volume per-hektar rata-rata 20 meter kubik, yang terdiri dari kayu jenis kelompok Meranti, Keruing dan Benuas dengan diameter 50-100 centimeter lebih. 

Menurut mereka jumlah ini belum termasuk jenis kayu komersil lain yang juga memiliki nilai ekonomis dan juga kayu-kayu yang dilindungi seperti kayu jenis ulin, pantung dan tengkawang, serta kayu-kayu yang berdiameter 40 centimeter ke bawah.